JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menilai, saat ini sistem pengawasan terhadap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) masih lemah.
Hal itu disampaikan menanggapi tertangkapknya dua hakim MK oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, meski tidak dalam waktu berdekatan.
Menurut Arsul, MK secara internal belum memiliki badan pengawas tetap, sedangkan dari eksternal, Komisi Yudisial (KY) tidak berwenang mengawasi kinerja hakim MK.
"Selama ini kan adanya di MK hanya mahkamah etik. Tapi itu tidak punya staf pendukung. Walaupun keberadaannya tetap tapi aktivitasnya ad hoc," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/1/2017).
"Berbeda dengan KY yang punya divisi penyelidikan dan penyidikan kemudian bisa mengembangkan kerja sama dengan elemen masyarakat sipil," kata politisi PPP itu.
Namun waktu itu, usulan dalam amandemen UUD 1945 agar KY diberi wewenang mengawasi hakim MK, justru dimentahkan oleh MK.
Karena itu, menurut Arsul, perlu dicari jalan tengah dalam membangun sistem pengawasan hakim MK yang kuat.
"Tentu ada banyak opsi dan ini akan dibahas bersama pemerintah dalam pembahasan revisi Undang-undang MK. Bisa dengan memperkuat fungsi mahkamah etik dengan menyediakan staf pendukung dan melakukan pengawasan aktif, atau juga pembentukan badan inspektorat," kata Arsul.