JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyatakan ada perbedaan mekanisme dalam pengangkatan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dari tiga institusi yang berwenang, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahakamah Agung, dan Presiden.
Mekanisme pengangkatan hakim MK dari DPR memang mengharuskan adanya uji kelayakan dan kepatutan. Sedangkan dari MA dan Presiden tidak mengharuskan adanya mekanisme uji kelayakan dan kepatutan.
Tidak diwajibkannya mekanisme uji kelayakan dan kepatutan dari MA dan Presiden, menurut Arsul, memang rawan menjadi celah tidak transparannya rekrutmen hakim MK.
"Tapi kemarin kan Presiden Jokowi saat mengangkat hakim I Gede Dewa Palguna itu melalui tim seleksi serta uji kelayakan dan kepatutan," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/1/2017).
"Prosesnya transparan dan kredibel. Saya kira itu bisa dinormakan dalam undang-undang MK yang sedang direvisi," lanjut Arsul.
(Baca: Mahkamah Konstitusi Tanpa Patrialis Akbar...)
Menurut Arsul, dengan adanya tim seleksi dalam menunjuk hakim MK, menjadikan prosesnya lebih bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga, hakim MK yang kemudian ditunjuk Presiden juga terjamin integritas dan kapabilitasnya.
"Memang rekrutmen hakim MK menjadi sorotan setelah adanya kasus korupsi di MK, nantinya dalam proses revisi undang-undang MK. Karena itu usulan Pemerintah, kami di DPR masih menunggu drafnya," papar Arsul.
"Yang jelas revisi undang-undang MK ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017, tentu harus segera dibahas melihat desakan masyarakat yang seperti sekarang," lanjut dia.
(Baca: Penggantian Patrialis Akbar Tunggu Putusan Mahkamah Kehormatan MK)
Hakim konstitusi Patrialis Akbar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (25/11/2016). Ia terjaring operasi tangkap tangan. Patrialis disangka menerima suap sebesar 20.000 dollar Amerika Serikat dan 200.000 dollar Singapura atau total sekitar Rp 2,15 miliar dari importir daging. P
atrialis adalah hakim MK dari unsur pemerintah. Ia ditunjuk oleh Presiden ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono. Penunjukan Patrialis sebagai penjaga konstitusi sempat menjadi polemik.
Keputusan SBY itu dinilai menyalahi tata cara pemilihan hakim konstitusi. Proses pemilihan Patrialis dianggap tidak transparan dan tidak membuka peluang bagi masyarakat untuk turut menyumbangkan pendapat.
Padahal, berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diatur mengenai pencalonan hakim konstitusi secara transparan dan partisipatif.