JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi memecahkan rekor operasi tangkap tangan pada tahun 2016.
Namun, menurut anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu, keberhasilan KPK tersebut, juga memberikan gambaran bahwa masih banyak pejabat negara yang berperilaku korup.
"Baik itu dari tingkatan pusat, provinsi, kabupaten/kota, serta BUMN dan BUMD," kata Masinton dalam pesan singkat kepada Kompas.com, Senin (9/1/2017).
Ia menegaskan, sudah menjadi kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk menindak setiap perilaku koruptif.
Namun, jumlah operasi tangkap tangan yang dilakukan dinilai bukan ukuran tepat untuk menilai suksesnya pemberantasan korupsi yang dilakukan. Masinton menilai bahwa pencegahan tetap harus dilakukan secara sistematis.
"Pemberantasan korupsi tidak bisa diukur hanya dengan banyaknya penindakan melalui operasi tangkap tangan," ujar Masinton.
"Khususnya kepada pemerintah agar segera membuat sistem baku pencegahan korupsi di setiap instansi pemerintahan dari mulai pusat hingga daerah dengan mekanisme kontrol dan pengawasan yang ketat," kata dia.
Ia menambahkan, Presiden Joko Widodo harus lebih tegas mendorong agar instansi lain, seperti kejaksaan dan kepolisian untuk lebih konsisten dalam memberantas praktik rasuah di Tanah Air.
Pemerintah, kata dia, tidak cukup apabila hanya mengandalkan KPK saja.
Sebelumnya, KPK mencetak sejarah baru pada 2016. Sepanjang tahun lalu, KPK telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) sebanyak 17 kali.
(Baca: Lakukan 17 Kali OTT, KPK Cetak Sejarah Baru pada Tahun 2016)
Sebelumnya, OTT terbanyak terjadi pada tahun 2013, dengan melakukan 10 operasi tangkap tangan.
"Ada 17 kasus di tahun 2016 yang merupakan hasil OTT. Ini yang terbanyak sepanjang sejarah KPK berdiri," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan dalam jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Senin (9/1/2017).