Adalah bukti yang lebih nyata bahwa perang rakyat ini adalah perang nasional, walaupun berhubung dengan faktor-faktor yang obyektif perang rakyat itu diorganisir secara regional (Laporan dari Banaran, 1960).
Di ajang pilkada pada era demokrasi langsung saat ini, di mana-mana kontestasi politik mengerucut pada rivalitas sengit.
Nyaris tidak ada yang tidak membawa-bawa sentimen primordial (bisa suku atau agama) atau isu ”putra daerah”.
Contoh paling aktual adalah Pilkada DKI Jakarta. Walaupun ada 101 daerah yang menggelar ajang sama pada 15 Februari 2017, tetap saja Pilkada DKI Jakarta paling gaduh dan panas.
Rivalitas sangat sengit. Bisa jadi karena faktor Basuki yang berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat, selain dua pasangan lainnya: Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Basuki memang sudah pro-kontra sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta, menggantikan Joko Widodo pada 2015.
Basuki tidak hanya membuat situasi menjelang pilkada gaduh, tetapi panggung nasional pun memanas, terutama sejak ia diduga menista agama.
Bisa jadi ada hubungannya, agar publik tak terbelah, di jalan-jalan terbentang spanduk-spanduk bertuliskan ”Kita Semua Bersaudara”.
Ternyata, menjaga situasi tetap sejuk dengan memahami segala keberagaman tidaklah mudah. Jadi teringat Mohammad Natsir, pimpinan Masyumi, Perdana Menteri 1950-1951.
Negeri ini sudah merdeka 71 tahun. Keragaman negeri ini adalah anugerah, tetapi kerap menjadi titik lemah juga. Jadi, bagaimana merawatnya?
M Natsir: Usaha ini tidak dapat dijalankan oleh satu dua orang saja, akan tetapi harus dilakukan oleh masing-masing kita, sebab, ini mengenai satu segi dari ideologi kita yang harus kita dukung, kita tumbuh dan suburkan dalam masyarakat seluruh bangsa kita umumnya.
Sudah ada satu cita-cita kemerdekaan beragama yang diajarkan oleh Islam dan yang diketahui oleh orang banyak, dan yang merupakan cara pemecahan soal yang dihadapi oleh negara kita, yakni ”Menjaga keragaman hidup di dalam lingkungan RI ini yang terdiri dari penduduk yang berbeda-beda agamanya” (”Keragaman Hidup Antar-Agama”, Hikmah, 1954).
Tiba-tiba saya tersadar, seakan-akan tengah mewawancarai (secara imajiner) para tokoh bangsa itu bahwa negeri dan bangsa ini tidak boleh rapuh.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.