JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Politik Dalam Negeri Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar mengatakan, pemerintah akan menjelaskan setiap pasal pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu.
Sebab, dalam draf RUU Pemilu ditemukan 23 pasal yang melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Nanti kami jelaskan pada saatnya di RDP (rapat dengan pendapat) di DPR," kata Bahtiar di kompleks Kemendagri, Jakarta, Rabu (9/11/2016).
Bahtiar mempertanyakan ihwal adanya 23 pasal yang melanggar putusan MK yang ditemukan dalam kajian lembaga pengamat pemilu. Ia menilai pembuatan draf RUU Pemilu telah dilakukan secara matang.
Menurut Bahtiar, draf RUU Pemilu telah dibahas antar-kementerian. Pembahasan tersebut, kata dia, melibatkan para ahli hukum tata negara dan ahli politik.
"Kalau ada perubahan di Senayan, namanya UU kan produk politik. Kebenaran itu tidak bernilai tunggal," ucap Bahtiar.
Bahtiar tidak mempermasalahkan bila nantinya draf RUU Pemilu mengalami banyak perubahan saat RDP di DPR berlangsung.
"Ya namanya gagasan kan mana yang terbaik buat bangsa ini. Ya silahkan saja," ujar Bahtiar.
Lembaga Penelitian Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif sebelumnya menemukan adanya 23 pasal krusial dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu yang berpotensi melanggar konstitusi atau putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua KODE Inisiatif Veri Junaidi mengungkapkan, 23 pasal krusial ini ke dikelompokan dalam sembilan kualifikasi.
Kualifikasi itu adalah Penyelenggara; Syarat calon; Sistem pemilu; Keterwakilan perempuan; Syarat parpol dalam pengajuan calon presiden atau wakil presiden.
Selain itu adalah Larangan kampanye pada masa tenang; Ketentuan sanksi kampanye; Waktu pemilu susulan atau lanjutan; dan Putusan DKPP terkait etika penyelenggaraan pemilu.
(Baca: 23 Pasal di RUU Pemilu Berpotensi Langgar UUD 1945)
Mengenai penyelenggaraan pemilu, misalnya. Aturan keharusan bagi KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara negara untuk rapat dengar pendapat bersama DPR merupakan suatu kejanggalan.
(Baca juga: Empat Pasal RUU Pemilu soal Penyelenggara Berpotensi Langgar Konstitusi)
Apalagi hasil dari rapat tersebut mengikat. Hal ini, kata Veri, bertentangan dengan Pasal 22 E Ayat 5 UUD 1945.
Pasal itu menyebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Artinya, tak diperlukan RDP yang bersifat mengikat.
Pada draf UU Pemilu, aturan RDP tersebut tercantum dalam Pasal 58 Ayat 4. (Baca juga: 23 Pasal Bermasalah, Pemerintah Dinilai Tak Serius Buat RUU Pemilu)