JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Miko S Ginting menilai, salah satu "lahan basah" pungutan liar yang kerap terjadi sehari-hari yakni perkara tilang.
Wacana bersih-bersih pungli yang digalakkan pemerintah diyakini dapat mengikis praktik yang selama ini dianggap telah mengakar di masyarakat.
Namun, perlu ada penegakan hukum yang kuat agar hal serupa tak terjadi lagi.
Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo diminta membuat regulasi untuk mengelola perkara tilang oleh penegak hukum.
(baca: Korlantas Rancang Bayar Tilang "Online")
"Peraturan itu diharapkan dapat menjadi terobosan regulasi dan alat hukum bagi reformasi sistem dalam pengelolaan perkara tilang," ujar Miko dalam siaran pers, Rabu (26/10/2016).
Aturan soal sistem penanganan perkara tilang sudah dirumuskan dalam Surat Keputusan Bersama tentang Pengelolaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas 1993.
Namun, Miko menganggap perlu adanya pembaruan aturan yang disesuaikan dengan kondisi saat ini.
Dengan perumusan aturan itu, diharapkan angka pungli dalam perkara tilang akan menurun.
(baca: Terkait Pungli, 4 Jembatan Timbang Ditutup Sementara)
"Perkara tilang adalah peluang untuk mendorong kepercayaan publik terhadap hukum dan institusinya," kata Miko.
Jika pungli dalam penanganan kasus tilang bisa ditekan, kata Miko, maka upaya Polri untuk bersih-bersih pungli bisa terealisasi.
Ia mengatakan, persoalan tilang kerap dianggap remeh saking biasanya ditemukan dalam keseharian.
(baca: Satgas Saber Pungli Akan Segera Beroperasi di Daerah)
Namun, jika terus dibiarkan, maka masyarakat akan menganggap remeh polisi dengan anggapan bisa disogok jika melanggar lalu lintas.