JAKARTA, KOMPAS.com — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai aksi penyanderaan tujuh polisi hutan dan penyelidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjatuhkan wibawa negara terhadap korporasi.
Kepala Departemen Kajian Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Zenzi Suhadi mengatakan, dalam kasus tersebut, ada indikasi mobilisasi dan pengorganisasian masyarakat oleh korporasi.
"Kalau ini masyarakat tidak mungkin targetnya menghilangkan alat bukti yang di tangan penyelidik," ujar Zenzi saat dihubungi, Selasa (6/9/2016).
"Ketika targetnya menghilangkan alat bukti, ini artinya ada auktor intelektualisnya," kata dia.
Zenzi mengatakan, peristiwa serupa pernah terjadi sebelumnya.
"Tahun lalu juga ada perusahaan di Sumsel (Sumatera Selatan) yang menyandera, melakukan pelecahan secara psikologis," kata dia.
Maka dari itu, Walhi meminta KLHK mencabut izin perusahaan.
Ia mengatakan, jika sebelumnya izin perusahaan diterbitkan oleh kepala daerah setempat, maka KLHK bisa mengambil alih kewenangan pemerintah daerah untuk mencabut izin korporasi.
Jika izin tidak dicabut, maka kejadian serupa akan terus terulang. Selain itu, kejahatan perusakan lingkungan juga akan terus terjadi dan berkembang di berbagai wilayah dengan berbagai modus operasi dan berbagai tingkatan.
"Ini serius karena negara tidak boleh kalah dan terlihat lemah di hadapan korporasi," kata dia.
Sebelumnya, tujuh polisi hutan dan penyidik dari KLHK dilaporkan disandera sekelompok orang saat menyegel lahan yang terbakar.
Sekelompok orang yang menyandera itu diduga dikerahkan PT Andika Permata Sawit Lestari (PT APSL).
(Baca: Tujuh Polisi Hutan dan Petugas Disandera Usai Segel Lahan, Pemerintah Kini Incar PT APSL)
Saat itu, polisi hutan dan penyidik dari Balai Penegakan Hukum KLHK sedang menyegel dan mengumpulkan barang bukti kebakaran hutan, Jumat (2/9/2016).
Dalam perjalanan, mereka dicegat massa, kemudian dipaksa untuk mencabut segel serta menghapus foto dan video yang direkam.
Polisi hutan dan penyidik KLH itu menemukan indikasi kuat bahwa PT APSL memakai modus pembentukan tiga kelompok tani untuk mengelola kebun sawit.
Cara itu selama ini diketahui sebagai modus umum perambahan. Aparat pun menemukan lokasi kebun sawit yang terbakar amat luas dan berasap, serta ada di hutan produksi.
(Baca juga: Penyanderaan Tak Pengaruhi Penyelidikan terhadap PT APSL)
Saat dikonfirmasi, PT APSL membantah telah memerintahkan dan menjadi dalang atas aksi penyanderaan. Menurut pengacara PT APSL, Novalina Sirait, lahan yang terbakar itu milik kelompok tani, bukan milik perusahaan.
"Luas lahan PT APSL hanya 3.112 hektar di Rokan Hulu. Lahan kami tak terbakar, yang terbakar milik warga," ujarnya.