Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Birokrasi Kurang Profesional

Kompas.com - 29/08/2016, 19:48 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Kelebihan pagu anggaran tunjangan profesional guru senilai Rp 23,4 triliun mencerminkan kurang profesionalnya pejabat di kementerian terkait menyusun program. Di tengah seretnya pemasukan untuk kas negara, pengajuan anggaran publik justru tidak realistis.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Abdul Waidl menilai hal ini bukan semata karena kelalaian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melainkan juga Kementerian Keuangan serta Badan Pemeriksa Keuangan.

Instansi-instansi tersebut mestinya dari awal saling berkoordinasi agar tidak ada temuan kelebihan pagu.

”Di tengah hangatnya isu pengampunan pajak, dibutuhkan sense of crisis (kepekaan) bersama dalam menyusun anggaran publik,” ujar Waidl, di Jakarta, Sabtu (27/8/2016).

(Baca: Anggaran Tunjangan Sertifikasi Guru Berlebih, DPR Dinilai Lemah Peroleh Data)

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menjelaskan, kasus kelebihan alokasi anggaran bisa terjadi di mana saja. Faktor mendasar adalah ketiadaan sistem data yang valid dan terkoneksi di seluruh Indonesia. Situasi ini diperburuk oleh birokrasi yang tidak profesional.

Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Kamis (25/8/2016), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah pusat memotong anggaran tunjangan profesional guru senilai Rp 23,4 triliun.

Musababnya, proyeksi Kemdikbud terlalu besar dibandingkan kondisi faktual. Sebagian di antaranya disebabkan sejumlah guru bersertifikat pensiun pada tahun ini.

Sebagian lagi karena ada sebagian guru yang tidak berhak mendapat tunjangan profesional karena tidak bersertifikat tetapi dianggarkan.

(Baca: Salah Hitung Anggaran Tunjangan Guru Rp 23,3 Triliun, Ini Penjelasan Kemendikbud)

Secara terpisah, Direktur Dana Perimbangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Rukijo mengatakan, pagu tunjangan profesional guru tahun ini Rp 69 triliun.

Dengan demikian, dengan pemotongan anggaran Rp 23,4 triliun, anggarannya tinggal Rp 45,6 triliun. Sebagian di antaranya telah ditransfer untuk kebutuhan bulan-bulan sebelumnya.

Jumlah guru yang pensiun, menurut Rukijo, mencapai 78.811 orang. Dari awalnya 1.300.758 orang menjadi 1.221.947 orang.

Sementara soal yang dimaksud tidak berhak mendapat tunjangan tetapi dianggarkan, menurut Rukijo, merujuk pada estimasi Kemdikbud soal jumlah guru yang baru mulai memperoleh sertifikat pada tahun ini.

”Jadi, dalam perencanaan, Kemdikbud menganggarkan jumlah guru yang baru bersertifikat tahun ini. Tetapi pada saat ujian, kan,tidak semuanya lulus,” kata Rukijo.

Menjadi pelajaran

Wakil Ketua Komisi X DPR Ferdiansyah mengingatkan agar kasus tersebut menjadi pelajaran bersama. Tidak sinkronnya data antarlembaga di pemerintah pusat juga tak lepas dari ketidakdisiplinan pemerintah daerah menyampaikan data ke pemerintah pusat. Kelebihan pagu sebesar itu adalah akumulasi dari 1-2 tahun data dari daerah.

”Sudah saatnya Kemdikbud dan Kementerian Dalam Negeri bersikap tegas terhadap daerah yang lalai dan abai menyampaikan data menjelang penyusunan program dan anggaran. Ingat, para guru itu bertugas di daerah. Artinya, pemerintah daerahlah yang paham akan data mutakhir pemangku kepentingan pendidikan di daerah masing-masing,” ujar Ferdiansyah.

Wakil rakyat yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayaan itu mengkritik rembuk nasional pendidikan yang diadakan tiap tahun untuk menguatkan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

(Baca: PGRI: Bagaimana Mungkin Kemendikbud Salah Hitung Tunjangan Guru hingga Rp 23,3 T?)

”Buat apa forum yang dihadiri ratusan pejabat dari pusat dan daerah itu rutin diadakan jika koordinasi tetap tidak jalan?” kata Ferdiansyah.

Enny Sri Hartati tidak ingin menyebutkan secara spesifik kementerian mana yang keliru dalam kasus ini. Bahkan, ia tak serta-merta melihat hal ini dari sisi penggelembungan anggaran.

”Hal seperti ini juga bisa lolos karena Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan 20 persen APBN untuk pendidikan sehingga mengajukan alokasi anggaran sebesar-besarnya,” ujarnya.

Enny menjelaskan, hal seperti ini pernah terjadi saat program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan uang buku untuk murid diinisiasi sekitar 10 tahun lalu.

(Baca: Sri Mulyani: Anggaran Tunjangan Profesi Guru Kelebihan Rp 23,3 Triliun)

Ketika itu, pengajuan yang masih didominasi sistem data manual membuat kelebihan satu nol saja dapat menyebabkan kelebihan alokasi anggaran secara nasional mencapai triliunan rupiah per tahun.

Di sisi lain, pemerintah belum mampu membangun sistem pemetaan efektivitas anggaran sesuai akses dan mutu pendidikan. Hambatan ini, sebaiknya segera diatasi agar penyerapan anggaran efektif sesuai tujuan, yaitu menambah akses dan meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Klarifikasi Kemdikbud

Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Sumarna Surapranata menjelaskan bahwa pada bulan Oktober 2015, pemerintah menyetujui anggaran tunjangan profesi guru pegawai negeri sipil daerah (TPG PNSD) sebesar Rp 71 triliun untuk 1,6 juta guru yang bersertifikasi. Namun, jumlah itu belum melihat sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) di provinsi.

Jumlah silpa itu didapat dari laporan provinsi pada pemerintah pusat. Sumarna mengatakan, laporan semestinya sudah masuk ke Kemenkeu sejak akhir 2014.

Namun, beberapa provinsi baru menyetor laporan secara lengkap Mei 2016. Setelah laporan daerah lengkap, terungkap ada silpa Rp 23 triliun.

”Laporan memperlihatkan ada guru-guru yang pensiun, meninggal, beralih ke profesi lain, mutasi, tidak dapat memenuhi beban mengajar 24 jam, dan tidak linier dengan sertifikat pendidiknya. Hasilnya, tanggung jawab TPG PNSD berkurang dari 1,6 juta guru menjadi 1.374.718 orang,” ujar Sumarna.

(Baca: Kelebihan Anggaran Tunjangan Profesi Guru karena Silpa Daerah sejak 2007)

Dengan demikian, tanggungan silpa berkurang menjadi Rp 19 triliun. Kemdikbud, Kemenkeu, dan pemerintah daerah kemudian bersepakat melalui Surat Nomor 33130/A.A1.1/PR/2016 agar jumlah Rp 19 triliun tersebut dikurangi dari anggaran sebesar Rp 71 triliun. Sebab, jumlah Rp 19 triliun sudah tersimpan di daerah.

”Jadi, sebenarnya tidak ada pemotongan anggaran. Total yang dikucurkan, termasuk silpa, tetap Rp 71 triliun,” ujarnya.

Perlu diperiksa

Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan, masalah itu perlu diperiksa mendalam. Apalagi, Rp 23 triliun itu bukan jumlah yang sedikit.

Ade menilai, anggaran sebesar itu bisa digunakan untuk membangun ratusan gedung sekolah, membangun jembatan, dan memperluas akses pendidikan hingga tingkat pelosok. Bahkan, anggaran sebesar itu dapat merealisasikan wajib belajar 12 tahun (hingga SMA) di sejumlah daerah.

”Apakah hanya terjadi tahun ini? Perlu dicek kembali. Jangan sampai ternyata pernah terjadi sebelumnya. Jika seperti itu, kelebihannya dikemanakan? Pemeriksaan perlu. Jika ditemukan kesengajaan, bisa dipidana,” kata Ade.

Dia juga mempertanyakan sistem pendataan guru mengingat hal ini akan menentukan jumlah anggaran. Jika pendataan bermasalah, anggaran pun demikian. (LAS/DNE/CO3/HAM/NAR)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Agustus 2016, di halaman 1 dengan judul "Birokrasi Kurang Profesional".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

GASPOL! Hari Ini: Eks Ajudan Prabowo Siap Tempur di Jawa Tengah

GASPOL! Hari Ini: Eks Ajudan Prabowo Siap Tempur di Jawa Tengah

Nasional
Mengintip Kecanggihan Kapal Perang Perancis FREMM Bretagne D655 yang Bersandar di Jakarta

Mengintip Kecanggihan Kapal Perang Perancis FREMM Bretagne D655 yang Bersandar di Jakarta

Nasional
Selain Rakernas, PDI-P Buka Kemungkinan Tetapkan Sikap Politik terhadap Pemerintah Saat Kongres Partai

Selain Rakernas, PDI-P Buka Kemungkinan Tetapkan Sikap Politik terhadap Pemerintah Saat Kongres Partai

Nasional
Korban Dugaan Asusila Sempat Konfrontasi Ketua KPU saat Sidang DKPP

Korban Dugaan Asusila Sempat Konfrontasi Ketua KPU saat Sidang DKPP

Nasional
Covid-19 di Singapura Naik, Imunitas Warga RI Diyakini Kuat

Covid-19 di Singapura Naik, Imunitas Warga RI Diyakini Kuat

Nasional
WWF 2024 Jadi Komitmen dan Aksi Nyata Pertamina Kelola Keberlangsungan Air

WWF 2024 Jadi Komitmen dan Aksi Nyata Pertamina Kelola Keberlangsungan Air

Nasional
Menhub Targetkan Bandara VVIP IKN Beroperasi 1 Agustus 2024

Menhub Targetkan Bandara VVIP IKN Beroperasi 1 Agustus 2024

Nasional
Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Sempat Ditangani Psikolog saat Sidang

Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Sempat Ditangani Psikolog saat Sidang

Nasional
Polri: Kepolisian Thailand Akan Proses TPPU Istri Fredy Pratama

Polri: Kepolisian Thailand Akan Proses TPPU Istri Fredy Pratama

Nasional
Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Nasional
KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

Nasional
Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Nasional
Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Nasional
DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com