JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Informasi Pusat meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) segera mengumumkan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh masyarakat pascaberedarnya vaksin palsu di sejumlah wilayah.
Pasalnya, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sebelumnya menyatakan anak yang menerima vaksin palsu tidak memiliki antibodi. Sehingga, rentan terhadap berbagai macam penyakit.
Maka dari itu, pengumuman terkait langkah-langkah yang harus dilakukan masyarakat menjadi sangat penting.
(Baca: Bupati Semarang Instruksikan Penghentian Pemberian Vaksin)
“Sudah menjadi kewajiban dan tanggungjawab badan publik dalam hal ini Kementerian Kesehatan untuk secara serta merta mengumumkan informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan juga ketertiban umum,” kata Ketua Komisi Informasi Pusat, John Fresly, melalui pernyataan tertulis, Selasa (28/6/2016).
John mengatakan, pengumuman tersebut diatur dalam Pasal 10 UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dan Pasal 12 Peraturan Komisi Informasi No.1/2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik (PERKI SLIP).
John mengatakan, Kementerian Kesehatan, BPOM, dan juga Kepolisian harus bergerak cepat untuk membongkar kasus tersebut. Selain itu, memastikan lokasi peredaran vaksin palsu yang meresahkan terebut.
Menurut John, pengumunan segala hal terkait vaksin palsu harus disampaikan secara cepat, mudah dijangkau atau diakses, dan dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat.
Menurut John, jika ada masyarakat yang merasa dirugikan, maka ada konsekuensi pidana bagi badan publik yang tidak menerbitkan informasi publik yang wajib diumumkan secara serta merta.
Hal itu diatur dalam Pasal 52 UU KIP. Adapun sanksinya berupa pidana kurungan 1 (satu) tahun dan denda Rp 5 juta.
(Baca: Polri, Kemenkes, dan BPOM Bentuk Satgas Vaksin Palsu)
John berharap, Ke depan, pemerintah dapat meningkatkan pengawasan terhadap obat-obatan yang beredar dimasyarakat. “Tiga belas tahun praktek ini telah dilakukan para tersangka, ini menunjukkan sistem pengawasan pemerintah terhadap obat-obatan palsu dan berbahaya masih sangat-sangat lemah,” kata John.
John meminta agar para pelaku pembuat dan pengedar vaksin palsu tersebut dihukum seberat-beratnya. “Apa yang mereka lakukan sangat keterlaluan dan membahayakan anak-anak Indonesia, pantas mendapatkan hukuman maksimal,” kata John.
Bareskrim Polri, seperti dikutip Kompas, menelusuri jaringan distributor vaksin palsu di luar Jakarta. Polisi sudah menetapkan 15 tersangka kasus peredaran vaksin palsu. Menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Brigadir Jenderal (Pol) Agung Setya, berdasarkan pengembangan penyidikan diketahui bahwa peredaran vaksin palsu terjadi di Yogyakarta dan Semarang.
15 Tersangka
Penyidik juga sudah menahan tersangka berinisial T dan M, bagian dari jaringan produsen vaksin palsu, di Semarang. Dengan demikian, polisi telah menahan 15 tersangka di sejumlah kota, seperti Jakarta, Tangerang Selatan (Banten), Subang dan Bekasi (Jabar), serta Semarang.
Selain itu, polisi juga memeriksa 18 saksi dari rumah sakit, apotek, toko obat, dan saksi yang terlibat pembuatan vaksin palsu. Hasilnya, terungkap empat rumah sakit di Jakarta serta dua apotek dan satu toko obat di Jakarta terlibat peredaran vaksin palsu.
Bareskrim Polri juga sudah berkoordinasi dengan Kemenkes untuk mengetahui warga pengguna vaksin. Mereka menanti pengaduan warga terkait vaksin palsu dan hasil uji laboratorium kandungan cairan vaksin palsu.
Pengungkapan kasus vaksin palsu berawal dari temuan penyidik bahwa ada penjualan vaksin tanpa izin edar.
(Baca: Menkes Setuju Pembuat Vaksin Palsu Dihukum Mati)
Peredarannya dikendalikan tiga produsen, yakni Agus, Syariah, serta pasangan suami istri Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina.
Semua tersangka dikenai tindak pidana pencucian uang. Penyidik melacak semua aset tersangka. Para tersangka juga disangkakan pasal berlapis karena melanggar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No 8/1999 Perlindungan Konsumen.