Proyek reklamasi menjadi tren pembangunan wilayah pesisir di Indonesia. Di berbagai daerah, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Bali, Makasar, Palu, dan beberapa tempat lain, proyek ini mulai terealisasi.
Dampaknya selalu sama yaitu konflik, baik konflik di tengah masyarakat maupun konflik-konflik lain di laut terkait permasalahan ekologi. Akar atas berbagai persoalan tersebut sesungguhnya adalah regulasi.
Regulasi
Tahun 1995 menandai awal dilegalkannya proyek reklamasi dengan keluarnya Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Sejak tahun 1995, selain diatur melalui peraturan daerah (Perda), belum ada peraturan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan reklamasi di laut dan kawasan pesisir sampai diterbitkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 (UU No. 27 Tahun 2007) tentang Wilayah Pesisisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Di UU No. 27 Tahun 2007 reklamasi hanya diatur dalam tiga pasal yaitu pasal 1 angka 23 yang mengatur definisi reklamasi, pasal 34 yang mengatur limitasi dari pelaksanaan reklamasi, dan pasal 74 yang mengatur ketentuan pidana bagi yang tidak melakukan kewajiban reklamasi.
Selanjutnya, pengaturan yang minim tersebut baru diatur lebih lanjut secara lebih rinci lima tahun berikutnya melalui Perpres No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Sayangnya, aturan turunan UU No. 27 Tahun 2007 tersebut juga belum dapat menerjemahkan beberapa ketidakjelasan pengaturan terkait limitasi pelaksanaan reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Teks dalam undang-undang itu dapat dimaknai secara bebas yang secara laten dapat berakibat pada pembangunan opresif, baik terhadap lingkungan hidup maupun masyarakat pesisir.
Utilitarian
Permasalahan pertama terdapat pada pengaturan terkait definisi reklamasi. UU No. 27 Tahun 2007 mendefinisikan reklamasi sebagai kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
Corak utilitarian terlihat mewarnai pengaturan tersebut. Reklamasi didefinisikan sebatas kegiatan untuk meningkatkan manfaat sumber daya alam.
Padahal, di kawasan pesisir di negara lain reklamasi dilakukan untuk pemulihan dan adaptasi lingkungan hidup atau pencegahan erosi seperti yang dilakukan di Jerman.
Reklamasi juga berfungsi untuk mempertahankan batas negara yang nyaris tenggelam terhadap negara lain seperti yang terjadi pada Pulau Nipah yang tenggelam kemudian direklamasi kembali.
Definisi tersebut membakukan reklamasi sebatas proyek komersil. Itulah yang terjadi pada sejumlah proyek reklamasi di berbagai daerah di Indonesia.
Proyek reklamasi yang meminggirkan ribuan masyarakat marjinal demi peningkatan manfaat untuk beberapa pihak sangat mungkin diilhami oleh pembatasan pengertian reklamasi tersebut.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.