MAGELANG, KOMPAS.com - Pasar Minggu Pahingan telah menjadi tradisi sekaligus ikon Kota Magelang yang berusia lebih dari setengah abad.
Pasar ini bukan pasar tradisional pada umumnya, namun pasar yang hanya digelar setiap 35 hari (selapan) sekali di kawasan alun-alun Kota Magelang, Jawa Tengah.
Beberapa warga menyebut pasar ini sebagai pasar tiban, atau lebih banyak dikenal dengan Pahingan atau Paingan merujuk nama salah satu hari dalam kalender Jawa.
Salah satu keunikan pasar ini adalah digelar berbarengan dengan pengajian di Masjid Jami Kauman di sebelah barat Alun-alun Kota Magelang.
Beberapa ulama berpengaruh yang merintis pengajian tersebut antara lain KH Chudlori dari Ponpes Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang; K.H. Ahmad Haq atau Mbah Mad Ponpes Watucongol, Muntilan, Kabupaten Magelang; dan K.H. Alwi dari Ponpes Salam Kanci, Bandongan, Kabupaten Magelang.
Menurut tokoh masyarakat Kauman, Luky Henri Yuni Susanto, saat itu hanya ada sekitar 45 orang saja yang berdagang di halaman masjid saat pengajian digelar, mereka adalah santri yang setia "nderekke" atau mengikuti para ulama itu.
Adapun barang-barang yang dijual masih sebatas berbagai jenis makanan tradisional, seperti jagung rebus, kacang rebus, singkong rebus, minuman ringan dan sebagainya.
Semakin ramai
Seiring berjalannya waktu, aktivitas perdagangan semakin ramai, hingga 1980-an para pedagang memenuhi pinggiran Alun-alun Kota Magelang dengan jenis dagangan yang beragam.
Mereka datang dari berbagai pelosok daerah, mulai dari Tegalrejo, Bandongan, Secang, hingga Muntilan, Kabupaten Magelang.
Pahingan kemudian berkembang menjadi sebuah kearifan lokal yang mengakar pada masyarakat setempat. Warga dari pelosok daerah di Magelang dan sekitarnya berbondong-bondong untuk datang ke Masjid Jami atau sekarang dikenal sebagai Masjid Agung untuk ikut pengajian sekaligus Pahingan.
"Keduanya mempunyai nilai spiritualnya masing-masing. Al Quran, doa, tahlilan, dan Mauidzoh Hasanah dalam pengajian memupuk sisi kebathinan agar lebih dekat kepada Tuhan, memupuk agar selalu ingat akhirat," kata Henri.
"Sedangkan perdagangan adalah agar kita juga tetap memikirkan spirit untuk bisa mencari bekal dalam mengarungi hidup dunia ini. Entuk donyane yo enthuk akhirate", sambung Henri.
Sekitar 1983-1985 muncul komunitas Pemuda Minggu Pahing (PMP) yang rutin bertemu setiap Minggu Pahing. Para pemuda yang berasal dari berbagai daerah di Magelang itu kerap melakukan kegiatan atau sekedar "dolan" menikmati suasana keramaian Minggu Pahing di Magelang.
"Suasana Paingan yang selalu kami rindukan, ada keramaian transaksi jual beli, tapi ruh "ngudi" (mencari) ilmu agama itu tetap ada. Rasa kekeluargaan sangat terasa antar pedagang yang bahkan sudah puluhan tahun berjualan dan pembeli yang bertemu hanya setiap 35 sekali," tutur Henri.
Terusik Rencana Relokasi
Namun belakangan eksistensi Pasar Minggu Pahing terusik dengan adanya kebijakan Pemkot Magelang yang berencana merelokasi Pasar Minggu Pahing ke tempat lain.
Kebijakan itu tertuang dalam surat edaran (SE) Dinas Pengelolaan Pasar Kota Magelang Nomor 511/283/260 tertanggal 11 April 2016.
Dalam SE itu antara lain menyebut para pedagang Pahingan akan direlokasi ke Lapangan Rindam IV/Diponegoro Kota Magelang atau berjarak sekitar dua kilometer dari Alun-alun, mulai Minggu, 31 Juli 2016.
Kebijakan otorita Kota Magelang ini sontak mengundang reaksi dari berbagai elemen masyarakat yang menolak rencana itu dengan alasan Pasar Minggu Pahingan merupakan produk budaya yang justru harus dilestarikan.
"Kami tidak mau kehilangan tradisi untuk kesekian kalinya, kami sudah kehilangan tradisi "Dung" dan "Sirine" penanda buka puasa dari Masjid Jami, juga karena dilarang oleh pemerintah kala itu," kata Henri.
Pemerhati Budaya Magelang, Mbilung Sarawita, menyebut pasar Minggu Pahingan tak sekadar memiliki nilai ekonomi yang dihasilkan dari transaksi perdagangan.
Lebih dari itu, pasar ini mengandung nilai historis, spiritual dan kultural hasil kearifan para pendahulu Magelang.
"Pasar Minggu Pahingan justru sangat layak diabadikan sebagai warisan budaya non-benda (intangible heritage) yang perlu dilestarikan bukan semata karena nilai ekonominya terhadap wilayah maupun kesejahteraan pedagangnya," tandas Mbilung.
Mbilung mengatakan, mendukung pemerintah jika hendak menertibkan Pahingan, dari sisi kerapihan, kebersihan dan kenyamanan dengan catatan pasar ini tetap berada di lokasi semula di kawasan Alun-alun dan berbarengan dengan kegiatan pengajian di Masjid Jami Kauman.
Aksi tolak relokasi
Sejumlah elemen masyarakat yang peduli Pahingan pun kemudian menggelar berbagai aksi yang intinya menolak rencana relokasi tersebut.
Mulai aksi penggalangan tanda tangan, unjuk argumen di media sosial, dengar pendapat di DPRD Kota Magelang, hingga penandatangan petisi di situs change.org.
Agung Nugroho, salah satu pelaku seni Magelang, menjelaskan petisi di situs perubahan itu menjadi salah satu upaya untuk menjaring partisipan yang lebih luas.
Ia berharap ada perhatian dari otoritas yang lebih tinggi terhadap eksistensi Pasar Minggu Pahing ini.
"Hasilnya (petisi) memang belum terlihat namun setidaknya akan memberitahu kepada masyarakat luas bahwa di Kota Magelang sedang ada perjuangan anak bangsa mempertahankan kelestarian tradisi lokal," paar Prabu, panggilan akrab Agung Nugroho.
Prabu berpandangan Pasar Minggu Pahing layak dipertahankan sebagai prasasti yang mengingatkan bagaimana para pendahulu berjuang mempertemukan orang-orang dari berbagai daerah di satu titik di Kota Magelang.
Mereka tidak sekadar berjualan dan membeli akan tetapi ada sisi sosial-kemanusiaan dan spiritual di pasar itu.
Dia menambahkan, pasar Minggu Pahingan juga sebagai salah satu potret syiar Agama Islam melalui perdagangan sebagaimana dilakukan Walisongo di tanah Jawa.
"Masyarakat era sekarang sudah urban banget dengan menjamurnya pasar-pasar modern. Kalau relokasi ini terjadi maka kita akan kehilangan jati diri sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi tradisi," kata dia.
Sementara itu, Wali Kota Magelang Sigit Widyonindito mengatakan rencana relokasi pasar Minggu Pahingan sudah sejak lama menjadi aspirasi banyak pihak.
Tak hanya para pedagang Pasar Rejowinangun, namun juga sejumlah tokoh masyarakat dan tokoh agama di Kota Magelang.
"Tidak ada kok yang digusur, tapi ditata supaya lebih baik lagi. Tempatnya juga lebih ramai di Lapangan Rindam. Pedagang juga tambah, tidak hanya sebulan sekali, tapi bisa empat sampai lima kali," ujar Sigit, dalam keterangan pers beberapa waktu lalu.
Menurut dia, kebijakan relokasi pasar ini juga telah melalui kajian komperhensif antar-SKPD dan pemangku kepentingan lainnya.
Hasilnya, kebijakan relokasi ini diharapkan dapat membentuk zoning penataan kota yang lebih berkualitas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.