JAKARTA, KOMPAS.com — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat adanya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak saat pengungsian besar-besaran warga mantan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dari Kalimantan pada awal Januari 2016 lalu.
Menurut pengacara publik dari LBH Jakarta, Pratiwi Febry, setidaknya perempuan dan anak-anak yang terstigma sebagai mantan anggota Gafatar mengalami kekerasan dalam sejumlah fase.
Sejumlah fase itu adalah saat sebelum pengusiran, saat pengusiran atau evakuasi paksa, saat di penampungan di Kalimantan, proses pemulangan ke Jawa, saat penampungan di daerah asal, dan saat pemulangan ke daerah asal.
"Setelah pengusiran, banyak warga yang melapor kepada kami. Kemudian dari pengakuan mereka, kami mendapat fakta ada kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak saat diusir atau dievakuasi secara paksa," ujar Pratiwi saat memberikan keterangan di kantor LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Rabu (8/6/2016).
(Baca: Ada 12 Wilayah yang Diklaim Bagian dari Negara Bentukan Gafatar)
Pratiwi menuturkan, sebelum pengusiran dilakukan, ada peringatan dan ancaman oleh sekelompok orang tak dikenal. Mereka mendatangi setiap rumah warga yang merupakan mantan anggota Gafatar, mengusir mereka, dan melontarkan kalimat ancaman.
Saat evakuasi, terjadi pembakaran oleh kelompok orang tak dikenal terhadap aset yang dimiliki warga mantan anggota Gafatar, seperti rumah, mobil, dan motor. Namun, kata Pratiwi, aksi tersebut tidak dicegah oleh aparat kepolisian yang berjaga di lokasi.
Kemudian, para warga mantan anggota Gafatar itu, termasuk perempuan dan anak-anak, dibawa dengan mobil terbuka sehingga warga merasa sedang dipertontonkan.
(Baca: Tahan "Nabi" Gafatar, Polri Sita Barang Bukti Kitab Campuran)
"Warga di Desa Pasir Mempawah, misalnya, dibawa dengan dump truck menuju Pontianak dalam kondisi hujan. Warga, termasuk perempuan dan anak, tidak diberi makan sampai kedatangan mereka di Pontianak menjelang tengah malam setelah pendataan di pengungsian," ungkap Pratiwi.
Setelah diungsikan, mereka pun sempat tinggal di tempat penampungan di Kalimantan. Mereka ditempatkan di ruangan terbuka, tidur dengan alas seadanya, dan diawasi oleh aparat bersenjata lengkap.
Kondisi penampungan buruk dengan fasilitas sanitasi dan MCK yang sangat minim. Mereka diberi makanan yang tidak sehat berupa mi instan dan sarden selama 2 minggu.
Selain itu, mereka juga tidak disediakan barang pribadi, seperti pembalut untuk perempuan dan makanan khusus untuk anak-anak balita.
(Baca: Liku-liku Eks Anggota Gafatar Mencari Izin untuk Mendapatkan Tempat Tinggal)
Tidak jarang, mereka mengalami kekerasan fisik dan psikologis dari aparat yang membentak-bentak.
Setelah bertahan di pengungsian selama kira-kira 2 minggu, mereka pun dipulangkan ke Jawa dengan menggunakan kapal dalam kondisi melebihi kapasitas.
Menurut Pratiwi, kapal yang digunakan hanya berkapasitas 400 orang, tetapi dipakai untuk mengangkut 800 orang.
Tiba di penampungan di Jawa, warga mantan anggota Gafatar ini juga tidak mendapat pelayanan yang layak. Kondisi penampungan milik dinas sosial provinsi sebenarnya tidak cukup untuk menampung semua pengungsi dari Kalimantan.
(Baca: Pembakar Permukiman Gafatar di Kalbar Diduga Dibayar)
"Kondisi ini diperparah dengan proses pemulangan yang berbelit. Mereka harus lebih dulu melapor ke pemda kabupaten atau pemprov setempat. Lamanya proses tersebut membuat penderitaan pengungsi semakin bertambah," kata Pratiwi.
Saat pemulangan dari penampungan di Jawa, para warga mantan anggota Gafatar pun dikumpulkan lebih dulu untuk didata. Setelah itu, mereka baru dipulangkan menggunakan mobil dinas sosial, kepolisian, dan TNI dengan pengawalan bersenjata lengkap.
Kekerasan tidak berhenti sampai di situ. Setelah sampai di daerah asal, mereka mendapat stigma negatif dari masyarakat setempat sebagai kelompok dengan aliran sesat.
Hal ini memberi dampak psikologis yang sangat besar terhadap perempuan dan anak-anak. Bahkan, ada beberapa warga mantan anggota Gafatar yang diusir atau tidak diterima pulang kembali.
"Mereka sebenarnya petani mandiri yang membuka lahan di Kalimantan, mendapat stigma negatif eks (anggota) Gafatar, dianggap aliran sesat," ujar Pratiwi.