Kriteria obyektif ini tentu telah disandang para jenderal Polri yang dicalonkan menjadi Kapolri.
Hukum mengatur bahwa wewenang menilai aspek obyektif profesionalitas calon Kapolri (dapat) didelegasikan oleh Presiden kepada Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi Mabes Polridan Komisi Kepolisian Nasional. Dalam konteks ini, Presiden menerima penilaian dan usulan nama calon Kapolri.
Adapun secara subyektif, aturan hukum memberi wewenang kepada Presiden untuk menentukan kriteria tertentu terhadap figur yang akan mengisi jabatan Kapolri.
Kriteria subyektif tersebut umumnya meliputi kedekatan emosional, loyalitas, dan karakteristik personel Kapolri.
Wewenang Presiden untuk menentukan kriteria subyektif personel Kapolri itulah yang secara ketatanegaraan disebut wewenang prerogatif Presiden.
Dengan demikian, dalam konteks pengisian jabatan Kapolri, wewenang Wanjakti, Kompolnas, atau partai pendukung Presiden hanyalah sebatas menyampaikan kriteria obyektif personel yang dapat mengisi jabatan Kapolri.
Untuk mengisi jabatan Kapolri, Presiden dapatmemilih opsi kedua:”meneruskan” masa jabatan Kapolri (petahana).
Opsi ini dapat ditempuh, sebab hukum kepolisian tidak membatasi atau mengatur bahwa Kapolri harus berstatus sebagai polisi aktif.
Namun, Presiden berwenang memperpanjang usia dinas Kapolri sampai melebihi usia 58 tahun sebagaimana diatur Pasal 30 Ayat (2) UU Kepolisian RI.
Isu perpanjangan masa dinas Kapolri (petahana) ternyata sama sekali tidak diatur dalam UU Kepolisian RI (UU No 2/ 2002).
Artinya, Presiden berwenang untuk mengisi dan melengkapi kekosongan hukum (rechtvacuum) tentang perpanjangan masa dinas aktif Kapolri (petahana).
Adanya rechtvacuum pengaturansoal perpanjangan masa dinas aktif Kapolri (petahana) sebetulnya sesuatu yang aneh, bahkan dapat diartikan adanya gagal paham pembentuk UU memahami substansi jabatan Kapolri.
Pembentuk UU Kepolisian RI telah gagal memahami sejarah lembaga kepolisian yang sedari awal telah menoreh pengalaman perpanjangan masa jabatan Kapolri sampai tiga kali.
Pada masa awal sejarahlembaga kepolisian, jabatan Kapolri pertama, Komisaris Jenderal Raden Said Soekanto yang menjabat periode 1945-1959, mengalami perpanjangan masa jabatan sampai tiga kali oleh Presiden Soekarno.
Dengan merujuk preseden tersebut,kendati terdapat rechtvacuum bukan berarti Presiden tidak boleh meneruskan masa jabatan Kapolri (petahana).
Sebagai kepala pemerintahan,Presiden berwenang membuat diskresi, dalam rangka mengatur dan menetapkan sistem dan prosedur penerusan masa jabatan Kapolri petahana.