Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Amir Sodikin
Managing Editor Kompas.com

Wartawan, menyukai isu-isu tradisionalisme sekaligus perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Bergabung dengan harian Kompas sejak 2002, kemudian ditugaskan di Kompas.com sejak 2016. Menyelesaikan S1 sebagai sarjana sains dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM), dan S2 master ilmu komunikasi dari Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina. 

Kebiri yang Memecah Belah Kita

Kompas.com - 26/05/2016, 10:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

Terus terang, bagaimana mengontrol dan menghukum paedofil ini menjadi persoalan pelik yang belum terselesaikan, bahkan oleh negara-negara maju. Hukuman kebiri, terutama mengacu pada kebiri bedah atau fisik, dianggap hukuman keji, tak bermoral, dan bertentangan dengan hak asasi manusia.

Satu fakta lagi, benar bahwa di negara-negara yang telah menerapkan hukuman kebiri (baik secara bedah maupun kimiawi), ternyata angka kejahatan seksual tak juga turun.

Atul Gawande dalam tulisannya di Slate.com berjudul ""The Unkindest Cut" memaparkan, hukuman kebiri di beberapa negara bisa berlangsung efektif, namun ada pula yang salah sasaran.

Disebutkan Gawande, di Republik Ceko dan Jerman, kebiri secara kimiawi ini diberlakukan hanya untuk kalangan pelaku seks yang sekarela mau mengikuti pengobatan.

Di Amerika Serikat, hukuman kebiri diterapkan di beberapa negara bagian dengan beberapa variasi. California hanya memberlakukannya untuk pemerkosa yang telah berkali-kali melakukan kejahatannya.

Montana membolehkan untuk mengebiri secara kimiawi pelaku pemerkosaan, bahkan untuk kasus pemerkosaan tunggal jika kasusnya keji.

Masih menurut paparan Gawande, studi di Eropa lebih menjanjikan. Lebih dari 700 pelaku kejahatan seks di Denmark dikebiri. Hasilnya, tingkat kambuh turun dari antara 17 persen hingga 50 persen menjadi hingga dua persen. Hal yang sama juga terjadi di Norwegia.

Di Skandinavia dan Italia, penggunaan cyproproterone untuk kebiri kimiawi di kalangan pelaku yang secara sukarela mau “diobati” untuk menurunkan libido seksnya, ternyata efektif digunakan terutama di kalangan pelaku paedofil.

Harus diakui, banyak pula pelaksanaan kebiri yang tak sesuai harapan atau secara teknis sulit dilakukan. Pertama, mengebiri pelaku pemerkosaan tanpa menganalisis alasan pelaku memerkosa. Mengebiri pelaku pemerkosaan yang memperkosa karena hasrat kebencian terhadap perempuan, jelas tak sesuai dengan tujuan awal hukuman kebiri.

Kedua, kebiri kimiawi juga memerlukan dokter yang bersedia melakukannya atas perintah pengadilan. Tak hanya itu, dokter perlu mendampingi para "pasien" ini untuk memastikan dosisnya tepat dan tak ada efek samping yang berbahaya.

Ketiga, bagaimana memastikan para pemerkosa dan paedofil ini setelah menjalani hukuman utama berupa penjara, mau datang ke klinik setiap hari tertentu atau setiap pekan untuk secara sukarela disuntik dengan cyproproterone? Yakinkah Anda dengan komitmen kriminal paedofil ini untuk secara reguler datang?

Terlepas dari itu, berbagai studi, terutama terkait penggunaan zat kimia untuk menurunkan hormon testosteron, ternyata memang mampu meruntuhkan teori bahwa perkosaan adalah semua terkait “kekuasaan” dan “kekerasan” sehingga pemberlakuan kebiri pasti tak akan efektif.  

Dunia semakin terbuka dengan cara yang tak kita pahami sepenuhnya, kejahatan siber mengintai dunia nyata yang sebagian (tidak semuanya) dipicu oleh hasrat seksual yang tak terkendali. Jika kita tak awas sejak awal, maka kita tak sadar bahwa predator-predator seks itu telah berada di sekitar anak-anak kita.

Banyak fakta menunjukkan, kebanyakan perilaku manusia itu dikontrol oleh hormon. Orang marah, orang memperkosa, orang agresif, ternyata ada kaitannya dengan hormon. Mengendalikan hormon adalah terapi  yang umum saat ini.

Bahkan, Anda ingin berkulit cantik pun bisa terapi hormon. Walaupun memang, kebiri kimiawi tak bisa disamakan dengan terapi hormon agar kulit cantik atau tubuh langsing.  

Walaupun yang dipilih Indonesia bukanlah kebiri bedah/kebiri fisik, tapi memang, penggunaan kata kebiri ini benar-benar memprovokasi kita, bahkan memecah belah antara yang pro-HAM dan yang merasa darurat kekerasan seksual ini harus segera diakhiri. Masih perlu penjelasan tambahan, apa itu kebiri kimiawi? Manusiawi kah? Etis kah?

Rehabilitasi para predator seks, setelah mereka menyelesaikan hukuman penjara, dengan memberi obat penekan hormon testosteron, rasanya memang masih pro dan kontra di kalangan kita.

Kita memerlukan penjelasan dari pembuat produk undang-undang dan juga dari pakar di bidangnya yang bisa menjelaskan secara gamblang, bagaimana cara kerja obat penurun testosteron ini, apakah benar-benar tak manusiawi?

Apakah lebih pedih dari terbunuhnya Yn? Ah, maaf saya masih terbawa perasaan sebagai seorang ayah dari anak-anak. Apakah bisa efektif memastikan para paedofil ini tak lagi memerkosa di kemudian hari?

Kita tunggu penjelasan, entah dari dokter ataupun dari otoritas lainnya, yang lebih edukatif dan berperspektif HAM, bukan yang sifatnya politis untuk sekadar menyenangkan banyak pihak.

Oh iya, satu lagi, sekalian saja mau tanya, adakah obat kebiri kimiawi untuk menurunkan hormon terkait hasrat korupsi? Jika iya, kami semua pasti akan senang mendengarkan jenis hukuman tambahan berupa kebiri hasrat korupsi. Kali ini, pasti suara kami tak akan terpecah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Terkini Lainnya

Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Nasional
Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Nasional
Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri 'Triumvirat' dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri "Triumvirat" dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Nasional
Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Nasional
Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Nasional
Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal 'Food Estate'

Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal "Food Estate"

Nasional
Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Nasional
Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Nasional
Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Nasional
Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Nasional
Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Nasional
PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

Nasional
PKB Jaring Bakal Calon Kepala Daerah untuk Pilkada 2024, Salah Satunya Edy Rahmayadi

PKB Jaring Bakal Calon Kepala Daerah untuk Pilkada 2024, Salah Satunya Edy Rahmayadi

Nasional
Saat Cak Imin Berkelakar soal Hanif Dhakiri Jadi Menteri di Kabinet Prabowo...

Saat Cak Imin Berkelakar soal Hanif Dhakiri Jadi Menteri di Kabinet Prabowo...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com