Misalnya, di tengah derasnya arus informasi, dengan internet sebagai salah satu aksesnya, kita semakin menyadari bahwa ada akses tak terbatas terhadap konten pornografi berbasis web.
Pada ranah ini, sudah banyak pihak yang bekerja untuk mengkampanyekan internet sehat, memberikan edukasi kepada netizen, namun masih perlu upaya lebih untuk memastikan semua warga teredukasi dan melek terhadap literasi digital.
Pornografi melalui web memang diyakini memiliki tingkat kecanduan yang sama dengan narkotika. Sebuah video yang dibuat Kementrian Sosial RI bekerja sama dengan Kita dan Buah Hati Fondation, pakar psikologi Elly Risman, dan gerakan SEMAI2045, menggambarkan bagiamana bekerjanya narkolema, narkotika lewat mata.
Disebutkan, ada bagian otak manusia yang bernama pre-frontal cortex (PFC) yang menjadi pembeda antara perilaku manusia dengan binatang. Sayangnya PFC rentan rusak, dan rusaknya PFC dapat berakibat perubahan tingkah laku manusia.
Pornografi merupakan penyebab paling merusak PFC. Efek candu pornografi sama dengan efek candu narkotika. Oleh karena itu, pornografi adalah Narkolema, Narkoba Lewat Mata. Simak videonya di bawah ini:
Di berbagai media massa, tak sedikit yang memberitakan bagiamana anak-anak yang kecanduan pornografi di internet ini pada akhirnya menaikkan level “hobi” mereka ke dalam bentuk kekerasan seksual di dunia nyata. Kasus Yn juga tak lepas dari persoalan ini.
Terkait narkolema ini disampaikan bukan untuk menjadi pembenar bahwa pelaku kejahatan seksual layak dikebiri kimiawi karena alasan ini. Bukan. Fenomena narkolema hanya untuk menyajikan perspektif umum bahwa memang sebagian kasus pemerkosaan dipicu hasrat seksual, bukan semata karena hasrat kekerasan atau hasrat kebencian terhadap jender tertentu.
Pandangan yang mengatakan bahwa perkosaan hanya dilandasi pada hasrat kekerasan, tak selamanya berlaku untuk semua jenis perkosaan. Baca: Pemerkosaan Itu Hasrat Kekerasan, Bukan Hasrat Seksual
Alasan mengebiri
Lalu, apa kaitannya dengan hukuman kebiri secara kimiawi? Banyak yang beranggapan bahwa kasus pemerkosaan itu terjadi karena “power”, karena kekuasaan, bisa berupa kuasa terhadap uang, kuasa terhadap pengaruh, maupun kuasa karena merasa superior secara jender.
Jika seseorang melakukan pemerkosaan berulang-ulang karena dilandasi pada hasrat kekerasan semata, atau karena benci terhadap jender tertentu, maka mengebiri pemerkosa jenis seperti ini akan kehilangan alasannya.
Namun, jika seseorang memerkosa anak-anak secara sadistis dan berulang-ulang karena benar-benar terkait hasrat seksual, maka kebiri kimiawi bisa menjadi jalan keluar.
Sebentar, pasti tak semua orang setuju dengan poin kedua ini. Kata-kata kebirilah yang telah membuat efek ngeri terhadap hukuman tambahan ini. Tak manusiawi.
Bagaimana kalau teksnya kita ubah begini: Untuk memastikan para paedofil dan pemerkosa sadis-berulang yang telah menjalani masa hukumannya tak mengulangi perbuatannya, pengadilan memerintahkan agar pemerkosa ini diobati.
Apa obatnya? Berikan depo-provera (misalnya jenis cyproproterone atau medroxyprogesterone). Fungsinya apa? Untuk menurunkan hormon testosteron ke level pra-pubertas. Lihat "Thinking about the Sexually Dangerous: Answers to Frequently Asked Questions" yang ditulis Ellsworth Fersch dan Ellsworth Lapham Fersch.
Untuk menurunkan hormon testosteron tersebut, maka pelaku secara sukarela mau datang ke klinik setiap rentang hari yang ditentukan atau tiap sepekan sekali. Menurut Perppu yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo tersebut, rentang pengobatan ini maksimal hingga dua tahun.
Teks alternatif kedua ini terdengarnya berbeda dengan kata-kata kebiri. Namun, secara kimiawi, metode ini mampu menurunkan level testosteron ke titik rendah, mirip dengan kebiri (kastrasi) dengan membuang organ fisik.
Terdengar masih tidak manusiawi? Baiklah, ternyata kebiri kimiawi ini bukan kebiri permanen. Efeknya bisa kembali hilang setelah pengobatan dihentikan.
Anda yakin bahwa dia telah insaf dan tak mengulangi perbuatannya? Ataukah Anda sudah puas dengan hukuman tambahan lainnya berupa penanaman cip mikro di tubuh paedofil yang bisa digunakan untuk memonitor keberadaan paedofil?
Padahal, hingga kini penanaman cip di tubuh manusia untuk digunakan mengontrol perilaku manusia masih eksperimen. Memang ada komunitas bio-hacking yang kini gemar mengoprek penanaman implan cip atau sejenisnya ke dalam tubuh manusia (yang paling marak penanaman RFID), namun sifatnya masih eksperimental.
Seandainya penggunaan cip ini sudah matang teknologinya, apa yang bisa Anda lakukan saat paedofil ini beraksi di lingkungan Anda? Apakah Anda yakin petugas akan segera datang jika si paedofil ini sedang melakukan kejahatan yang didorong oleh libido seks yang tiba-tiba tinggi?
Di negara luar