Persoalannya, beberapa orang elite Golkar yang secara umum dapat dikategorikan ”tidak tercela”, dalam arti pernah menjadi tersangka atau memiliki kasus hukum, justru duduk di pengurus partai tingkat pusat.
Karena itu, ada baiknya Panitia Munaslub Golkar merumuskan secara lebih rinci kriteria ”tidak tercela” tersebut.
Menurut saya, ”tidak tercela” sekurang-kurangnya harus mencakup kriteria tidak cacat secara hukum, tidak cacat secara politik, dan tidak cacat secara etik dan atau moral.
Tidak cacat secara hukum, artinya tidak pernah memiliki kasus hukum dan tidak pernah dinyatakan sebagai tersangka, baik oleh KPK maupun kejaksaan/kepolisian.
Tidak cacat secara politik, artinya tidak pernah dipecat oleh partai karena pelanggaran disiplin dan atau organisasi yang dilakukannya. Tak tercela secara politik bisa juga mencakup kader yang tidak memiliki pendirian politik.
Sementara tidak cacat secara etik dan atau moral mencakup ”kebersihan” dari semua jenis pelanggaran etik, baik internal maupun eksternal Golkar, termasuk di dalam yang terkait dengan skandal personal yang merusak citra Golkar.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Golkar membutuhkan calon ketua umum yang memiliki integritas moral, hukum, dan politik tinggi sehingga mampu mengembalikan ”kekaryaan” sebagai marwah sekaligus ”roh” partai warisan Soeharto ini.
Pertanyaannya, apakah delapan orang pendekar calon ketua umum yang telah mulai menyosialisasikan visi-misi saat ini mampu memenuhi kriteria sosok yang dicari tersebut?
Pertanyaan berikutnya, apakah format munaslub mampu mewadahi munculnya calon ketua umum yang didambakan itu?
Mencari sosok ketua umum ideal bagi Golkar saat ini bukanlah perkara mudah. Jangan-jangan hampir mustahil. Kalaupun masih ada tokoh partai beringin yang benar-benar ”bersih” dan berintegritas, problemnya mereka belum tentu didukung, apalagi dipilih.
Kalaupun terpilih—katakanlah dengan intervensi Tuhan—mereka yang dianggap ”bersih” itu belum tentu mampu mengendalikan Golkar, yakni mengendalikan faksi-faksi politik yang ada di dalamnya.
Dengan hitungan sederhana saja dapat dikatakan bahwa delapan calon ketua umum mencerminkan sekurang-kurangnya terdapat delapan faksi yang saling bersaing dalam tubuh Golkar.
Itu artinya, ketua umum Golkar harus mampu mengendalikan sekaligus meredam gejolak internal yang potensial muncul dari tujuh faksi yang kandidatnya tidak terpilih sebagai ketua umum.