Oleh: Syamsuddin Haris
Delapan calon ketua umum siap bersaing merebut kursi kepemimpinan Partai Golongan Karya dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa pada pekan keempat Mei 2016. Ketua umum seperti apa yang dibutuhkan Golkar?
Selain merupakan partai politik tertua dan parpol warisan Orde Baru yang telah lahir sejak akhir Demokrasi Terpimpin (1964), Golkar adalah satu-satunya partai dengan dukungan elektoral paling stabil.
Meskipun dicaci-maki dan bahkan dituntut untuk dibubarkan pada awal era reformasi, Golkar ”baru” yang dikampanyekan Akbar Tandjung sanggup bertengger di posisi kedua pada Pemilu 1999, kemudian memenangi Pemilu 2004, serta menjadi pemenang kedua pada Pemilu 2009 dan 2014.
Kemampuan Golkar meraih dukungan elektoral yang relatif stabil ini merupakan prestasi luar biasa. Betapa tidak, pasca Pemilu 2004 dan pasca Pemilu 2009 lahir partai-partai reproduksi Golkar, seperti Hanura, Gerindra, dan Nasdem, yang ternyata mampu meraih suara cukup signifikan pula.
Jadi, meskipun lumbung suara partai beringin digerogoti parpol-parpol produk konflik internal Golkar, hal itu tak mengurangi kapasitas Golkar untuk meraih posisi kedua pada dua pemilu terakhir.
Realitas politik ini jelas modalitas besar bagi Golkar dan juga politik nasional. Suka atau tidak, kemampuan parpol-parpol pecahan Golkar bertahan dan bahkan meraih suara signifikan pada Pemilu 2009 dan 2014, mengindikasikan posisi strategis Golkar sebagai jangkar politik nasional.
Karena itu, ke mana arah biduk Golkar dibawa akan ditentukan oleh siapa nakhoda yang memimpin partai ini lima tahun ke depan.
Bagi Golkar dan umumnya parpol kita yang cenderung oligarkis, sang ketua umum pada akhirnya akan lebih menentukan ke mana dan dengan siapa partai bekerja sama.
Kriteria ”tidak tercela”
Salah satu syarat bagi setiap kandidat ketua umum Golkar adalah memenuhi kriteria prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tidak tercela, atau yang dikenal dengan PDLT. Tak seorang pun yang menolak kriteria PDLT yang dicetuskan sejak era Orde Baru tersebut.
Relatif tak ada perdebatan mengenai cakupan pengertian prestasi, dedikasi, dan loyalitas. Namun, pada umumnya para elite Golkar cenderung berselisih pendapat tentang ruang lingkup kriteria ”tidak tercela”.
Lebih jauh lagi, ironisnya, tak ada penjelasan yang jernih, apa saja cakupan kriteria ”tidak tercela” ini. Apakah ”tidak tercela” mencakup integritas kader secara menyeluruh, baik hukum dan politik, maupun etik dan atau moral?
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.