Belum lagi jika turut dihitung, cara atau strategi untuk ”menghidupi” faksi-faksi internal Golkar yang potensial bergejolak bila ”aspirasi” dan kepentingan mereka tidak didengar ketua umum terpilih.
Ketua umum Rp 1 miliar
Problem berikutnya, munaslub yang diselenggarakan sebagai forum rekonsiliasi antara pihak-pihak yang bertikai di tubuh Golkar ini sedikit ternoda oleh syarat setor uang ”mahar” Rp 1 (satu) miliar bagi setiap calon ketua umum.
Sebelumnya panitia bahkan merencanakan untuk memungut Rp 20 miliar bagi para kandidat, kemudian turun menjadi Rp 5 miliar-Rp 10 miliar, dan akhirnya Rp 1 miliar.
Meski demikian, panitia tetap menerima pula keikutsertaan Syahrul Yasin Limpo dan Indra Bambang Utoyo, dua kandidat yang menolak setor mahar yang tidak masuk akal tersebut.
Terlepas dari besarnya kebutuhan biaya yang diperlukan panitia untuk penyelenggaraan Munaslub Golkar di hotel berbintang lima di Bali, pungutan mahar Rp 1 miliar jelas tidak mendidik bagi bangsa kita.
Syarat mahar Rp 1 miliar tersebut tak hanya membatasi kader yang mumpuni, tetapi miskin secara finansial, melainkan juga cenderung melegalkan politik uang dalam kontestasi politik.
Tidak ada satu pun argumen yang bisa diterima akal sehat bahwa pungutan Rp 1 miliar itu dapat mengurangi politik uang, seperti sering dikemukakan panitia.
Barangkali memang benar bahwa munas-munas Golkar sebelumnya cenderung diwarnai politik uang.
Namun, tidak berarti kontestasi politik yang transaksional tersebut perlu diformalkan, seperti yang dilakukan oleh panitia Munaslub Bali. Sulit dimungkiri bahwa syarat setor Rp 1 miliar justru semakin memperburuk citra publik Golkar.
Panitia semestinya mencari cara-cara yang lebih cerdas dan elegan untuk mengurangi politik uang yang fenomenal di tubuh Golkar.
Sumber daya manusia Golkar yang relatif baik semestinya diberdayakan untuk memikirkan soal-soal seperti ini ketimbang sekadar jalan pintas meminta mahar kepada para kandidat.
”Gizi” atau gagasan?
Bagi para pengurus daerah Golkar, ajang seperti munas atau munaslub dapat diibaratkan sebagai panen raya dalam arti yang sesungguhnya.
Para pengurus DPD Golkar tersebut sering kali saling bercerita tentang lobi-lobi para kandidat ketua umum yang tak henti-hentinya mengalirkan ”gizi” (baca: uang) ke kantong mereka.