Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akbar Tanjung Minta Komite Etik Dengarkan Opini Publik dalam Kasus Setya Novanto

Kompas.com - 07/05/2016, 15:03 WIB
Ayu Rachmaningtyas

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar Akbar Tanjung menilai Komite Etik Steering Committee Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar harus mendengarkan opini publik dalam menyelesaikan kasus Setya Novanto. Akbar enggan berkomentar saat ditanya bagaimana opini terkait kasus tersebut.

"Dalam kasus Setya Novanto tentunya opini publik harus menjadi acuan kami. Anda tahu sendiri, jadi tidak perlu saya jelaskan," kata Akbar saat ditemui di Jakarta, Sabtu (7/5/2016).

Menurut dia, kasus Setya Novanto terkait permintaan minta saham PT Freeport akan menjadi salah satu masalah yang akan dilihat oleh Komite Etik Steering Committee Munaslub Golkar. Namun, dirinya enggan mendahului terkait keputusannya. Untuk itu, dirinya menyerahkan secara penuh kepada Komite Etik untuk menyelesaikan.

"Itu kan jadi salah satu penilaian Komite Etik. Saya enggak mau mendahului, serahkan kepada tim untuk menilai prinsip prestasi, dedikasi, loyalitas, tercela (PDLT) terkait masalah tersebut," kata Akbar.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komite Etik Steering Committee Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar Laurence Siburian mengaku, pihaknya mendapat aduan tentang dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Ade Komarudin dan Setya Novanto.

Ade diadukan terkait penandatanganan pernyataan tidak akan maju sebagai calon ketua umum Golkar. Adapun Novanto diadukan dalam hal dugaan pelanggaran etika terkait permintaan saham PT Freeport Indonesia.

"Dua itu termasuk yang akan kami periksa. Ya tunggu saja, kami akan bentuk majelisnya dan kami sidangkan. Apa nanti masuk ke dalam kualifikasi pelanggaran kode etik atau tidak, nanti akan kami putuskan," ujar Laurence di Kantor DPP Golkar Jalan Anggrek Neli, Slipi, Jakarta Barat, Jumat (6/5/2016).

Jika terbukti, bentuk sanksinya bermacam-macam. Untuk pelanggaran dengan kategori rendah, majelis sidang dapat memberikan sanksi pemberian surat tertulis bahwa telah melakukan tindakan pelanggaran sekaligus perjanjian supaya tidak mengulangi perbuatannya. Sanksi skala sedang, misalnya, diberhentikan dari kepanitiaan atau pencalonan.

Adapun sanksi kategori berat, misalnya, didiskualifikasi dari pencalonan atau pencabutan hak suara serta dikeluarkan dari kepanitiaan.

"Meskipun bakal-bakal calon ini sudah ditetapkan dan disahkan sebagai calon di Munaslub, tapi apabila dalam proses ada laporan atau aduan berdasarkan bukti yang sah, maka tidak mustahil bakal calon itu akan didiskualifikasi," ujar dia.

"Untuk kader yang terbukti money politics, misalnya. Dia perantara, ngatur-ngatur, kasih uang, itu juga dapat hukuman tidak boleh masuk ke struktur kepengurusan selama satu periode. Kami mau yang bersih," lanjut Laurence.

Aturan tegas tersebut bertujuan mengawal Munaslub Golkar agar berjalan tidak hanya sukses, tetapi juga berkualitas. Novanto sebelumnya tersangkut kasus "papa minta saham" dalam skandal permintaan saham PT Freeport Indonesia.

Dalam proses di Mahkamah Kehormatan Dewan, sebanyak sembilan anggota menyatakan Novanto terbukti melanggar kode etik kategori sedang dengan sanksi pencopotan dari Ketua DPR.

Adapun enam anggota MKD menyatakan Novanto melanggar kode etik kategori berat dan mengusulkan pembentukan panel. Namun, tak ada keputusan apa pun MKD terkait kasus tersebut.

Terkait sangkaan pemufakatan jahat dalam kasus itu, Kejaksaan Agung memutuskan untuk mengendapkannya dengan alasan belum cukup bukti. (Baca: Jaksa Agung Akui Mengendapkan Kasus Pemufakatan Jahat )

Ade mengaku tidak membaca surat perjanjian yang ditandatanganinya menjelang penunjukan sebagai ketua DPR RI. Poin nomor dua surat tersebut menyebutkan bahwa Ade Komarudin tidak akan mencalonkan diri sebagai calon ketua umum Golkar sebelum kepengurusan Golkar Munas Bali berakhir pada tahun 2019.

Steering Committee sudah memutuskan enam dari delapan orang bakal calon ketua umum Golkar lolos syarat administrasi. Keenam bakal calon yang lolos yakni Ade Komarudin, Airlangga Hartarto, Aziz Syamsuddin, Mahyudin, Priyo Budi Santoso, dan Setya Novanto.

Dua nama tersisa, yakni Syahrul Yasin Limpo dan Indra Bambang Utoyo, dianggap belum memenuhi syarat administrasi. Meski demikian, Nurdin memastikan bahwa kedua nama itu tidak gugur begitu saja.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Nasional
Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Nasional
Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Nasional
Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com