JAKARTA, KOMPAS.com - Keharusan membayar iuran sebesar Rp 1 miliar untuk menjadi calon ketua umum Partai Golkar dinilai menggambarkan partai berlambang beringin tersebut hanya memfasilitasi kader yang berkantong tebal.
Pengamat Politik Arie Sujito mengatakan, sumbangan wajib tersebut menampilkan bahwa Partai Golkar hanya memfasilitasi orang-orang kaya. Pendekatan politik itu dianggap tidak akan bisa merespons tuntutan publik.
Sedangkan dilihat dari sisi partai, Golkar tidak melakukan reformasi untuk kemajuan partai kedepan.
"Iuran Rp 1 miliar paling hanya di atas kertas dan bersifat simbolik. Kedepannya tidak dipungkiri akan ada 'iuran-iuran' yang lebih besar," ujarnya di Jakarta, Jumat (6/5/2016).
Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa keadaan Golkar masih sangat terekonsilisasi dan masih faksionalisasi antar kelompok.
(baca: Akbar Tandjung Anggap Iuran Rp 1 Miliar Bisa Jadi Preseden Buruk di Golkar)
"Ini menggambarkan partai belum mampu mengakomodasi kenginan rakyat, tapi kelompok tertentu," kata Arie.
Oleh karena itu, momentum pergantian calon ketua umum Golkar seharusnya dijadikan untuk melakukan pembenahan besar-besaran.
"Ini momentum Golkar agar tidak salah urus. Saatnya Golkar turun mesin agar lebih baik kedepannya," ujarnya.
Steering Committee (SC) Munaslub Partai Golkar sudah memutuskan enam dari delapan orang bakal calon ketua umum Golkar, lolos syarat administrasi.
(baca: Andi Sinulingga Bantah Bakal Caketum Golkar Dicoret Jika Tak Setor Rp 1 Miliar)
Keenam bakal calon yang lolos yakni Ade Komarudin, Airlangga Hartarto, Aziz Syamsuddin, Mahyudin, Priyo Budi Santoso dan Setya Novanto.
Adapun, dua nama tersisa, yakni Syahrul Yasin Limpo dan Indra Bambang Utoyo dianggap belum memenuhi syarat administrasi.
Keduanya diberikan kesempatan sampai Sabtu (7/5/2016) jam 12.00 WIB untuk menjawab surat steering committee berkaitan dengan persyaratan yang belum terpenuhi.
Keduanya sebelumnya menegaskan tidak akan membayar uang untuk mendaftar sebagai calon Ketum Golkar.