JAKARTA, KOMPAS.com — Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti mengungkap alasannya mengajukan poin untuk memperpanjang masa penahanan terduga teroris menjadi enam bulan di dalam revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Menurut Badrodin, masa penahanan perlu diperpanjang untuk mendalami jaringan terduga teroris yang ditangkap itu.
"Kan kami perlu pengembangan itu. Pengembangan tidak bisa dalam waktu singkat kami dapatkan," ujar Badrodin di Rupatama Mabes Polri, Jakarta, Kamis (21/4/2016).
(Baca: Pasal "Guantanamo" di RUU Antiterorisme Penuh Kontroversi)
Masa penahanan yang saat ini berlaku ialah selama 170 hari. Badrodin mengatakan, terkadang Densus 88 membutuhkan waktu lebih dari itu untuk bisa mendapatkan informasi. Terlebih lagi, jaringan terorisme sudah merambat ke negara lain.
"Bisa saja kami kroscek dan verifikasi dengan keterangan di negara-negara lain sehingga memerlukan waktu yang sangat panjang," kata Badrodin.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, mengusulkan dibentuknya sebuah badan pengawasan independen apabila masa penangkapan dan penahanan dalam revisi Undang-Undang Antiterorisme jadi diperpanjang.
(Baca: Ini Poin Revisi UU Antiterorisme yang Diusulkan Pemerintah)
Perpanjangan masa penahanan, kata Arsul, harus diimbangi dengan mekanisme pengawasan oleh badan pengawas yang independen.
Menurut dia, hal tersebut perlu dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam menangkap dan menahan oleh aparat penegak hukum.