JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus dugaan suap anggota DPR dalam proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) semakin lama semakin menunjukkan titik terang.
Sejumlah nama yang sebelumnya diperiksa sebagai saksi, secara perlahan mulai terungkap dugaan keterlibatannya hingga kemarin, Kamis (14/4/2016).
KPK memeriksa Ketua Komisi V DPR Fary Djemi Francis. Dua hari sebelumnya, penyidik lebih dulu memanggil Wakil Ketua Komisi V Yudi Widiana dan Michael Wattimena.
KPK juga telah memeriksa sejumlah nama lain dari DPR dan Komisi V.
Beberapa nama yang telah dipanggil KPK adalah Sekretaris Jenderal DPR RI Winantuningtyastiti, anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Musa Zainudin dan anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Andi Taufan Tiro.
Berikutnya, KPK memeriksa dua anggota Komisi V DPR dari Fraksi PKB. Keduanya adalah Alamudin Dimyati Rois dan Fathan Subchi. KPK juga memeriksa anggota Fraksi PKB lainnya, yakni Mohammad Toha.
Selain itu, KPK juga memanggil anggota Komisi V dari Fraksi PDI-P Yoseph Umarhadi dan anggota Komisi V dari Fraksi Gerindra M Nizar Zahro.
Nyanyian Damayanti
Sidang pertama bagi tersangka Abdul Khoir akhirnya digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (4/4/2016).
Dalam dakwaan, disebutkan nama-nama penyelenggara negara yang menerima uang sejumlah Rp 21,28 miliar; 1,674 juta dolar Singapura dan 72.727 dolar AS dari Khoir.
Beberapa penerima suap yang disebutkan dalam surat dakwaan jaksa penuntut yakni Amran H Mustary selaku Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara, serta Andi Taufan Tiro, Musa Zainuddin, Damayanti dan Budi Supriyanto yang masing-masing selaku anggota Komisi V DPR.
Hal tersebut diperkuat melalui keterangan Damayanti saat memberi keterangan di persidangan terhadap Abdul Khoir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (11/4/2016).
Damayanti mengaku bahwa jatah komisi untuk anggota DPR dari dana aspirasi seperti ban berjalan sehingga setiap anggota DPR pasti mendapatkannya.
(Baca: Damayanti Wisnu: Jatah Suap Anggota DPR Seperti Ban Berjalan)
"Dana aspirasi yang diplot nominalnya oleh pimpinan fraksi, kemudian kapoksi (ketua kelompok fraksi) dan anggota, untuk apanya sudah bagian jatah seperti ban berjalan siapapun anggota DPR pasti dapat," kata Damayanti.
Menurut Damayanti, Amran selaku Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara sudah membawa data dana asprirasi itu dipergunakan untuk proyek mana dan berapa yang didapatkan oleh anggota Komisi V.
"Pada Oktober 2015 saat pertemuan di Hotel Ambhara, Pak Amran bawa data lebih komplit, ada judul, nama jalan, nominal dan kodenya. Saya kodenya 1e. PDIP itu 1, e-nya saya tidak tahu. Itu berdasar jumlah kepemilikan kursi di DPR, PDIP nomor 1, Golkar nomor 2 dan seterusnya," ucap Damayanti.
(Baca: "Kicauan" Damayanti Soal Kode dan Daftar Penerima Suap di Komisi V DPR)
Damayanti juga mengaku membaca daftar berisi nama-nama pimpinan dan anggota Komisi V terkait jatah proyek.
"Di situ ada Fary Francis, Michael Wattimena, pimpinan yang saya lihat empat, yang saya baca empat. Anggota yang saya lihat ada Pak Bakri (HM Bakri), Musa (Musa Zainuddin), saya, Budi (Budi Supriyanto), Yoseph Umar Hadi, Sukur Nababan," ucapnya.
Damayanti mengungkapkan, dalam pertemuan ketiga itu ada proses penjatahan kepada masing-masing nama tersebut.
"Untuk nilai merupakan hasil nego antara pimpinan Komisi V dan Kementerian PUPR sehingga masing-masing anggota mendapat jatah maksimal Rp50 miliar, kapoksi maksimal Rp100 miliar, untuk pimpinan saya kurang tahu. Kami diberikan dari kapoksi, kapoksi dari pimpinan. Saya nilaninya Rp41 miliar," ujarDamayanti.
"Pak Amran menyampaikan ke kami bahwa akan ada fee 6 persen dari nilai masing-masing yang sudah diplotkan oleh pimpinan masing-masing, itu dari rekanan. Saya dapat 245.700 dolar Singapura yang sudah diserahkan ke KPK, itu besarnya enam persen dari Rp 41 miliar," jelas Damayanti.
Aksi tutup mulut
Anggota Komisi V DPR Umar Arsal enggan banyak berkomentar mengenai kasus suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang menjerat koleganya, Damayanti dan Budi Supriyanto.
Umar beralasan, ada kesepakatan tidak tertulis di antara anggota Komisi V untuk tidak berkomentar terkait kasus tersebut di media massa.
"Kami komisi V kompak untuk diam," kata Umar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/3/2016). (Baca: Anggota Komisi V: Kita Kompak Untuk Diam)
Kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan terhadap empat orang tersangka, termasuk anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Damayanti Wisnu Putranti.
Keempat orang tersebut ditahan KPK, karena diduga terlibat dalam dugaan suap proyek pembangunan jalan di bawah Kementerian PUPR.
Dalam kasus ini, Chief Executive Officer PT Windhu Tunggal Utama (WTU) Abdul Khoir diduga memberi uang kepada Damayanti, dan dua orang stafnya, Julia dan Dessy, masing-masing 33.000 dollar Singapura.
Ada pun suap yang diberikan kepada Damayanti terkait proyek Jalan Trans-Seram di Maluku yang dikerjakan Kementerian PUPR.
Penyidik KPK kemudian memeriksa sejumlah anggota Komisi V DPR yang diduga mengetahui perkara suap tersebut.
Setelah satu per satu anggota dewan diperiksa, hingga akhirnya KPK menetapkan anggota Komisi V dari Fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto sebagai tersangka.
Berdasarkan pemeriksaan saksi dan alat bukti, Budi diduga menerima hadiah atau janji dari Abdul Khoir, agar PT WTU dapat pekerjaan di proyek Kementerian PUPR.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Budi sempat mengembalikan uang suap yang diterima sebesar 305 ribu dollar Singapura.
Namun, oleh Direktorat Gratifikasi KPK, pengembalian uang tersebut ditolak, karena terkait dengan tindak pidana yang sedang ditangani KPK.