JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S Pane, mengatakan bahwa kasus kematian terduga teroris Siyono memberi banyak pelajaran kepada Kepolisian RI untuk segera membenahi sistem penanganan terduga terorisme.
Menurut Neta, sejak dari awal kasus seharusnya Polri melakukan otopsi menyeluruh oleh tim forensik terhadap jenazah Siyono.
Mekanisme otopsi tersebut penting dilakukan, terutama terhadap korban tewas yang diduga akibat tindak kekerasan oknum polisi. Dengan demikian, kepolisian memiliki hasil yang valid.
Meski keluarga korban menolak, kata Neta, otopsi menyeluruh harus dilakukan dan menjadi standar kepolisian.
"Sehingga ketika ada complain, Polri sudah memiliki bukti lengkap hasil otopsinya," ujar Neta saat dihubungi, Rabu (13/4/2016).
Neta pun menilai hasil otopsi jenazah Siyono di RS Polri tidak bisa disamakan dengan hasil otopsi yang diprakarsai oleh PP Muhammadiyah.
Sebab, kata Neta, saat otopsi di RS Polri pihak keluarga tidak mengizinkan jenazah Siyono diotopsi luar dalam. Sehingga jenazah hanya diotopsi bagian luarnya saja.
Sebaliknya saat diotopsi oleh tim forensik Muhammadiyah, keluarga mengizinkan jenazah Siyono diotopsi luar dalam.
"Dengan demikian sangat tidak tepat jika membandingkan kedua hasil otopsi tersebut," ucapnya.
Lebih lanjut menurut Neta, otopsi ulang yang diinisiasi oleh PP Muhammadiyah dan Komnas HAM menunjukkan bahwa independensi dan profesionalisme forensik Polri masih diragukan.
(Baca: "Otopsi Ulang Siyono Jadi Pukulan Telak bagi Profesionalisme Polri")
"Kasus Siyono sudah memicu keberanian publik untuk melakukan otopsi ulang terhadap korban kekerasan polisi. Otopsi ulang ini menjadi pukulan telak bagi profesionalisme polri," kata Neta.
Neta juga menambahkan, kasus kematian Siyono harus menjadi pelajaran berharga bagi kepolisian dan juga tim forensiknya agar membenahi sistem pengawasan terkait upaya pemberantasan terorisme oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror.
Ia mengingatkan bahwa Polri sudah saatnya mengawasi sikap, perilaku dan kinerja Densus agar tidak berubah menjadi algojo dan bertindak sewenang-wenang.
Pada Senin (11/4/2016) lalu, PP Muhammadiyah bersama tim forensik dan Komnas HAM mengumumkan hasil otopsi Siyono di Kantor Komnas HAM.