Bagi Lulu dan Herdini, pendidikan militer ketika itu kombinasi petualangan dan kegembiraan karena kehidupan mereka berkecukupan dijamin negara yang secara perekonomian sedang susah.
Setengah dipaksa, mereka diajarkan mengemudikan Jip Gaz buatan Uni Soviet hingga suatu ketika sempat nyelonong ke sawah karena gugup.
Kebutuhan makan dan minum mereka tercukupi dan tinggal di asrama yang dikelola pengurus berkebangsaan Jepang.
Pakaian dalam mereka pun bermerek ternama yang merupakan barang mewah kala itu. Susu disediakan melimpah agar nutrisi terpenuhi.
Kalau ingin camilan, mereka biasa membawa potongan kecil gula aren ke kelas agar tidak mengantuk dan kedinginan.
Sekolah penerbang
Seiring kelulusan pendidikan dasar militer, terbuka pula kesempatan menjadi pilot. Dari 30 anggota Wara, ada tiga orang yang mengikuti pendidikan pilot dengan dua di antaranya berhasil lulus dan menghadiri hari pelantikan (wing day), yakni Lulu dan Herdini.
"Ketika itu, kami hanya terbang 10 jam bersama instruktur. Langsung dilepas terbang solo. Pernah terbang cross country di beberapa tempat di Jawa," kata Lulu yang mesti mengganjal kursinya dengan bantal agar bisa menginjak pedal rudder saat mengendalikan pesawat ringan Piper Cub L-4J.
Herdini menambahkan, mereka juga harus berjalan zig-zag saat melaju (taxi) di landasan menuju titik lepas landas karena kokpit Piper Cub mendongak ke atas sehingga menghalangi pandangannya.
Saat mendarat pun cukup menegangkan karena pesawat latih jenis itu harus mendarat dengan dua roda depan terlebih dulu. Berbeda dengan pesawat modern yang mendarat dengan roda belakang terlebih dulu.
"Kami ini angkatan percobaan untuk membuktikan perempuan bisa menerbangkan pesawat atau tidak. Selanjutnya kami tidak konversi ke pesawat jenis lain," kata Lulu.