JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komnas HAM Siane Indriani mengungkapkan sejumlah keganjilan kasus kematian terduga teroris Siyono. Masyarakat yang menolak agar jenazah Siyono tak diotopsi menjadi salah satunya.
Padahal, saat ditelusuri Komnas HAM, sebagian besar masyarakat justru tak ada yang menolak otopsi tersebut dilakukan.
"Sebagian besar masyarakat yang kita datangi tidak ada yang keberatan. Hanya di antaranya mereka menyatakan takut untuk bicara," kata Siane saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (5/5/2016) .
Belakangan diketahui, bahwa pada hari sebelum pembongkaran makam Siyono, Kepala Desa mengumpulkan sejumlah warga untuk melakukan rapat. Tokoh-tokoh masyarakat pun turut hadir di sana.
(Baca: Polisi Sebut Ada Kelompok Pro Teroris yang Membela Siyono)
Siane menyebutkan, dalam pertemuan tersebut, Kades, para tokoh masyarakat, dan masyarakat yang menolak otopsi. Seluruhnya kemudian menandatangani kesepakatan bersama yang menyatakan penolakkan otopsi.
"Kalau pun terpaksa harus (otopsi), harus dilakukan di luar desa dan tidak boleh dimakamkan di sana. Kemudian keluarganya juga harus keluar dari desa," kata Siane.
Keanehan lain, kata Siane, adalah ketika jenazah Siyono hendak dibawa ke Jakarta, pihak keluarga harus menunggu seseorang bernama Nurlan. Nurlan disebut sebagai pria yang akan mengurus semua keperluan jenazah dan mengawasi seluruh proses pemakaman.
(Baca: Hasil Visum Lengkap, Polri Anggap Jenazah Siyono Tak Perlu Diotopsi)
Saat tiba di rumah, Nurlan mengatakan jenazah Siyono tak boleh diganti kain kafannya. Padahal, pihak keluarga menyatakan keinginan mereka agar Siyono dibalut dengan kain kafan keluarga.
"Kemudian diganti, tapi cara gantinya sangat hati-hati. Pada bagian dada dan perut tidak boleh dibuka. Cepat-cepatan dan pak Nurlan ini mencoba menghalang-halangi yang mau lihat," ujar Siane.
Istri Siyono, Suratmi, juga menerima berbagai ancaman serius yang dilakukan secara psikis. Untuk itulah, Komnas HAM mencoba menghubungi PP Muhammadiyah untuk bekerja sama menangani kasus ini.
Siane mengatakan, yang dikhawatirkan adalah kondisi keselamatan Ratmi sehari-hari. Ratmi, kata Siane, bahkan sempat harus pindah-pindah rumah.
(Baca: Busyro: Otopsi Ulang Siyono Hanya untuk Mencari Keadilan dan Kebenaran)
"Pernah suatu hari dia hubungi saya, 'bu, di depan rumah saya ada mobil beberapa orang'," ujar Siane menirukan kata Ratmi.
Ratmi pun sempat diberikan sejumlah uang agar otopsi suaminya tak dilakukan. Namun, uang itu akhirnya ia berikan kepada Busyro Muqodas, Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah.
Siane menyebutkan, pihaknya juga pernah menanyai Ratmi beberapa pertanyaan. Salah satunya adalah apakah Siyono memiliki keahlian bela diri. Namun, Ratmi menjawab tidak.
(Baca: Siyono, Terduga Teroris Asal Klaten Dikabarkan Meninggal di Jakarta)
Jawaban tersebut amat penting untuk mengungkap apakah dalam penangkapan yang dilakulan Densus 88 ada perlawanan yang diberikan Siyono.
Tim dokter forensik dari Muhammadiyah juga mengungkapkan keanehan lain, yaitu fakta bahwa jenazah Siyono belum pernah diotopsi sebelumnya.
"Lagipula kalau memang sudah ada bukti otopsi, kenapa tidak disampaikan kepada keluarga? Cara-cara yang dilakukan, mengintimidasi, membuat kita semakin curiga," imbuh dia.