Contohnya seperti sulitnya memenuhi standar minimum perlakuan terhadap tahanan/narapidana, terjadinya kekerasan, kerusuhan, hingga pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh petugas, termasuk melakukan pelanggaran seperti melakukan pengutan liar, memberikan keistimewaan pada tahanan/narapidana tertentu, hingga mengedarkan narkotika.
Pertanyaan adakah narkoba di Lapas tentu tidak bisa digeneralisasi jawabannya. Pada masa Amir Syamsuddin menjabat sebagai menteri Hukum dan HAM, dibantu oleh Denny Indrayana sebagai wakil menteri, soal pelanggaran disiplin di dalam Lapas/Rutan juga menjadi isu penting.
Bahkan kementerian pada saat itu mencanangkan program anti ‘halinar’, kependekan dari anti hape (handphone)-pungli-narkoba.
Terlepas dari banyaknya bantahan terhadap tulisan Kathryn Bonella, munculnya program anti halinar ini jelas memberikan indikasi masih beredarnya narkoba di dalam rutan/lapas.
Pengembangan berbagai kasus narkoba yang ditemukan di masyarakat juga memperlihatkan bagaimana peredaran bahkan dapat dikendalikan oleh tahanan/narapidana di dalam rutan/lapas. Lantas apa yang menyebabkannya?
Berbagai penelitian, termasuk yang klasik dari Donald Clemmer (1940) dan Gresham M Sykes (1971) menjelaskan bahwa penjara itu pada dasarnya sebuah entitas budaya yang mengembangkan corak kehidupannya sendiri.
Di dalamnya terjadi pola interaksi yang khas antara narapidana dengan narapidana dan narapidana dengan petugas penjara.
Pola interaksi atau dalam arti lebih luas disebut dengan budaya penjara dibentuk oleh penghuni (narapidana dan petugas), dan merupakan bagian dari upaya memenuhi kebutuhan atau untuk mengurangi apa yang dikatakan oleh Sykes sebagai the pain of imprisonment.