Bila mengacu pada dokumen cetak biru, permasalahan ini cenderung dilihat sebagai puncak gunung es, dan berawal dari apa yang disebut dengan permasalahan struktural. Dalam hal ini pemasyarakatan berhadapan dengan masalah yang lebih mendasar, yaitu berkenaan dengan anggaran, jumlah dan kualitas sumber daya manusia.
Fungsi yang besar, tidak hanya sebagai bagian akhir dari sistem peradilan pidana (fungsi lembaga pemasyarakatan), namun juga berperan dalam tahap pre-adjudikasi dan adjudikasi (fungsi rumah tahanan dan balai pemasyarakatan), namun tidak ditopang oleh anggaran dan sumber daya manusia yang proporsional.
Hanya saja, bila melihat masih berlarut atau berulang-ulangnya masalah ini, pelanggaran di dalam rutan/lapas, baik yang dilakukan oleh narapidana maupun petugas adalah indikasi kuatnya budaya penjara.
Saya cenderung melihat budaya penjara ini dalam kerangka ‘realitas subjektif’ yang dijelaskan Peter L Berger dan Thomas Luckmann. Konsep ini pada dasarnya menjelaskan tentang keterkaitan antara lingkungan dengan kondisi mental (kesadaran subjektif) manusia.
Pelanggaran-pelanggaran kecil yang awalnya sedikit, namun dilakukan berulang-ulang dan telah berlangsung dalam waktu yang sangat lama, berubah menjadi sebuah budaya atau kesadaran subjektif.
Dampak terburuk dari kondisi ini adalah pelanggaran dianggap biasa atau normal. Orang yang tidak melanggar sangat mungkin dianggap naif. Bilapun ia tetap tidak ingin melakukan pelanggaran, namun karena berada dalam lingkungan yang sama, maka setidaknya ia akan ‘diam’ saja.
Dalam kerangka ini, tidak mengherankan bila muncul reaksi keras terhadap faktor yang sewaktu-waktu merusak kebiasaan tersebut. Katakanlah adanya perubahan kebijakan atau seperti yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi dengan melakukan penggeledahan untuk menemukan kemungkinan adanya pelanggaran berkaitan dengan narkoba.
Dalam logika awam, bila tidak salah atau tidak menyimpan sesuatu yang salah, mengapa harus melawan? Biarkan saja penggeledahan itu berlangsung sehingga dapat membuktikan bahwa memang tidak ada narkoba di dalam rutan/lapas.
Cetak biru 2009 sebenarnya telah dijadikan momentum oleh Sistem Pemasyarakatan Indonesia (tidak hanya Lembaga Pemasyarakatan) untuk kembali berbenah.
Publik perlu mengetahui bahwa memang saat ini Pemasyarakatan Indonesia memiliki fungsi yang besar namun difasilitasi secara kurang proporsional.