Seiring dengan itu, Generasi Milenial mendewasa sebagai generasi baru di Indonesia. Mereka tumbuh bersama teknologi digital. Menguasainya dengan sangat baik, dan tergantung erat dengannya dalam hampir semua sendi kehidupan.
Namun, sebagaimana umumnya kelompok masyarakat sipil di Indonesia lainnya, generasi Milenial ini (yang kemudian mengisi sebagian besar slot kelas menengah perkotaan di negeri ini), juga terfragmentasi dalam beragam identitas. Maka tidak heran, ekspresi mereka kerap didasarkan di mana posisi identitas mereka.
Ekspansi dunia digital juga kian mengkristalkan sikap konservatif, dan tak jarang menyuburkan kebencian antarkelompok. Antagonisme yang muncul pun lebih bersifat horisontal daripada vertikal.
Perdebatan yang berbasis identitas, misalnya yang aktual tentang isu LGBT, Syiah-Sunni, ataupun label halal-haram, jauh lebih mengemuka ke ruang publik digital daripada isu-isu struktural terkait Sepuluh Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah yang cenderung berpihak kepada pemilik modal itu.
Kesadaran politik perlawanan kelas yang lemah oleh generasi baru tersebut juga membuat mereka rawan terseret dalam kepentingan politik praktis.
Betapa dalam 1,5 tahun terakhir, sebagian kelas menengah kita, terlalu disibukkan dengan pertarungan berbasis dukungan politik terhadap dua pasangan kandidat presiden-wakil presiden yang bertarung pada Pemilu 2014 lalu.
Kritisisme terhadap pemerintah baru lebih didasarkan karena ekspresi kebencian, sehingga mudah dipatahkan dan distigmatisasi dengan sebutan haters.
Sementara, kelompok kritis yang dipandang netral dan progresif lebih disibukkan bertarung dalam isu-isu identitas. Akibatnya, isu-isu struktural relatif terabaikan. Kalau pun mendapat perhatian, sangat lemah energi yang mendorongnya.
Di pihak lain, kaum oligarki dengan sumber daya ekonomi politik yang mereka miliki, mampu beradaptasi dan membangun konsolidasi yang jauh lebih cepat dan solid dibanding yang mampu dilakukan kelas menengah.