Lely menjelaskan, Ketua DPD Irman Gusman seharusnya bersikap sebagai negarawan.
Ia harus mengambil sikap sesuai dengan konsistensi pembahasan tata tertib dalam sidang paripurna sebelumnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, UU 17 tahun 2014 (UU MD3) tidak mengatur tentang teknis pemilihan dan penggantian pimpinan DPD, juga jangka waktu seseorang menjadi menjabat sebagai pimpinan.
Jangka waktu jabatan pimpinan DPD selama 5 tahun ataupun 2,5 tahun sebagaimana diusulkan menjadi wujud kesepakatan para anggota yang diatur dalam tata tertib.
Tata tertib tersebut dibuat bersama seluruh unsur terkait dan pembahasannya dilakukan dengan mekanisme yang berlaku yakni rapat paripurna luar biasa DPD pada 15 Januari 2016.
"Di dalam UU diatur mengenai siklus 5 tahunan. Artinya jika mereka mau 2,5 tahun atau 5 tahun dalam satu siklus penggantian pimpinan ya nggak apa-apa. Asal jangan lebih dari 6 tahun. Rasanya tidak ada salahnya diikuti sebagai kesepakatan bersama," ucapnya.
Kenapa Ricuh?
Bivitri Susanti menduga kericuhan yang terjadi di Dewan Perwakilan Daerah disebabkan oleh persoalan fasilitas dan gaji.
Menurut Bivitri, fasilitas dan gaji yang diterima oleh pimpinan DPD jauh berbeda dengan anggota biasa.
"Misalnya soal gaji. Itu berbeda dngan anggota biasa. Dari fasilitas, jenis mobil dan plat nomer juga berbeda antara pimpinan dan anggota. Saya menduganya ke situ," ujar Bivitri.
Dugaan tersebut muncul karena kericuhan terkait pemangkasan masa jabatan pimpinan DPD adalah satu hal yang aneh.
Ia mengungkapkan, dari sisi fungsi, wewenang dan kinerja, kedudukan antara anggota dengan pimpinan itu sama.
Pimpinan DPD hanya berfungsi layaknya koordinator. Namun, kenyataannya jabatan tersebut seakan ditinggikan.
Selain itu, menurut Bivitri, panjangnya masa jabatan tidak akan membawa pengaruh signifikan terhadap kinerja DPD itu sendiri.
Sedangkan Lely Arrianie mencoba menganalisis dari sisi yang berbeda. Menurut Lely, DPD selama ini memang memang nampak kurang bergigi.
Sementara posisi orang-orang yang sesungguhnya diposisikan sebagai senator itu tidak memiliki posisi tawar yang sejajar dengan DPR, entah karena kapasitas atau manajemen kepemimpinan sebagai lembaga tinggi negara.