Bulan Maret ini adalah salah satu momen penting yang saya tunggu selama hidup. Ini tidak terkait dengan momen politik, namun justru momen entertainment, momen hiburan.
Pada Maret ini akan ditayangkan sebuah film yang menghadirkan fantasi lamunan saya saat kecil, sebuah lamunan tentang dua superhero, idola masyarakat dan tempat warga kota bergantung ketika berhadapan dengan kekuatan para penjahat angkara murka saling bertemu untuk unjuk kekuatan dan membuktikan siapa yang terkuat diantara mereka.
Ternyata fantasi masa kecil ini menjadi kenyataan, kita akan disuguhi sebuah tontonan seru Film Superman versus Batman: Dawn of Justice. Dan saya berharap saya sempat menontonnya di bioskop dengan duduk manis ditemani popcorn dan soft drink.
Para pembaca jangan salah paham, tulisan ini bukanlah tentang entertainment yang mengulas kelebihan dan kelemahan dari dua superhero yang akan berlaga.
Artikel ini adalah adalah sebuah tulisan politik, karena saya melihat ada beberapa kesamaan yang tampak dalam cara kita memandang dunia politik, seperti saat kita menonton film superhero, salah satunya tentang politik ibukota Jakarta yang pada tahun depan akan menyelenggarakan prosesi Pemilihan Gubernur.
Saya melihat bahwa cara kita memandang dunia politik layaknya kerumunan warga dalam film-film superhero dan action, yang merasa marah atau terancam oleh perilaku penjahat durjana, dan menunggu kedatangan superhero yang jujur, penolong dan kuat untuk seorang diri memberantas segenap kejahatan.
Saat superhero itu datang dalam diri Ahok (atau Risma di Surabaya atau Ridwan Kamil di Bandung) - ataupun nama-nama lain seperti Yusril Ihza Mahendra atau Sandiaga Uno bagi mereka yang tak berselera dengan Ahok- kita menempatkan mereka sebagai “big other”.
Kita lantas menyerahkan nasib, hajat hidup dan keselamatan kita pada mereka dan mengelu-elukannya untuk memberantas kejahatan dalam bentuk korupsi, kolusi, nepotisme dan salah urus bernegara oleh para politisi.
Sementara itu ketika kita memasrahkan segenap urusan dan kepercayaan kita pada mereka, kita sebagai warganegara lupa merumuskan platform, mendesakkan tuntutan dan mengorganisir diri dalam kekuatan politik untuk mengintervensi perubahan.
Berbeda dengan film superhero, politik adalah soal kolektivitas dan partisipasi kolektif, bukan penyandaran pada pada nama besar pemimpin.
Problem Intelektual dan Media
Setelah hampir 18 tahun kita terlepas dari era otoritarianisme Soeharto, menggejalanya sindrom kepasrahan terhadap orang besar (big other) ini tumbuh berkembang-biak seiring dengan bagaimana tayangan dominan dan cara kalangan intelektual memproduksi realitas politik yang tersebar kepada publik.
Perkembangan realitas politik sebagai sebuah industri bisnis, pragmatisme kepentingan, dan demokrasi yang bergerak dalam logika pasar justru merawat dan melestarikan persoalan utama yang tumbuh dalam zaman otoritarian. Persoalan ketika figur dan tokoh diletakkan tinggi-tinggi peran dan posisinya melampaui warganegara.
Meskipun dalam diskusi publik dan akademik kita membaca dan membicarakan pentingnya warga dan masyarakat sipil untuk mengontrol hidup bernegara, namun realitas dominan berjalan dengan logikanya sendiri.
Logika bisnis dan industri politik yang berkembang di era demokrasi oligarkhi berjalan kongruen dengan bentuk-bentuk pengetahuan politik yang memaknai demokrasi sebatas pada memilih pemimpin melalui pemilihan umum yang jurdil.
Logika pasar dan kepentingan jejaring bisnis-politik elite untuk sekedar menguasai institusi publik juga sejalan dengan cara pandang politik yang terbatas pada menjamurnya industri survey yang mengukur popularitas dan pencitraan politik.
Dalam atmosfer politik yang didominasi oleh tarikan gravitasi modal dan kekuasaan, politik tidak tumbuh sebagai cara pandang kritis untuk membongkar bagaimana realitas tercipta dari proses pertarungan sosial dan dominasi kekuasaan yang timpang.
Selama 16 tahun era post-authoritarianism, kita tidak belajar bahwa politik sebagai perjuangan bersama adalah soal bagaimana membangun basis sosial kolektif lintas sektoral, lintas kelas dan lintas golongan untuk mendorong perubahan bermakna.
Memang bahwa kita sudah menyadari ada yang salah dengan bagaimana arena politik ini terselenggara dan berjalan. Sebagian dari kita sudah muak dengan bagaimana politik tak lebih dimaknai sebagai panggung sandiwara dan pencitraan untuk menguasai dan menjarah institusi publik bagi kepentingan kelompok mereka.
Namun demikian, di balik kegeraman kita akan perilaku para politisi dan maneuver-manuver predatorisnya, cara kita memandang politik seperti cara warga Gotham City mengelu-elukan kehadiran Batman dalam memberantas kejahatan.
Kita melupakan bahwa tanpa melek politik dan kesadaran kritis untuk merumuskan agenda-agenda politik kota, maka seorang figur Batman seperti Ahok ataupun nama-nama lain seperti Yusril Ihza Mahendara ataupun Sandiaga Uno tidak terlepas dari kepentingan politik yang dapat bertentangan dengan hajat hidup warga miskin di Kota Jakarta.
Pangeran: Organisasi Kolektif
Dalam karya klasik politik yang banyak disalahpahami buah karya Machiavelli berjudul Il Principe, disebutkan bahwa dalam suasan saat negara menghadapi krisis, dibutuhkan hadirnya seorang pangeran yang membela dan dicintai oleh warga sekaligus disegani lawan-lawan politiknya.
Zaman demokrasi membutuhkan tampilnya pangeran yang tidak mewujud mewujud dalam figur personal melainkan organisasi-organisasi kolektif yang mampu merajut berbagai kepentingan sektoral dalam rumusan agenda politik perubahan. Sebuah organ yang tidak dipimpin oleh superhero di atas kita, namun digerakkan oleh kerja-kerja kita secara setara, duduk sama rendah berdiri sama tinggi.
Di tengah terseretnya partai-partai mapan sebagai instrumen pertahanan kemakmuran dan kekuasaan, kita membutuhkan hadirnya organisasi alternatif yang dalam perjalanannya sanggup bermetamorfosis menjadi partai politik baru.
Pangeran baru yang kehadirannya bukan sekedar menjadi kendaraan bagi superhero. Organisasi kolektif yang mampu menggugat dan menunjukkan berbagai persoalan krusial yang dihadapi oleh warga, seperti bahwa hak asasi orang-orang miskin yang tergurus harus diperjuangkan bukan dilibas.
Organisasi kolektif yang mampu menyoroti bahwa kepentingan investasi dan modal bukanlah panglima yang dapat meminggirkan kepentingan warga miskin Jakarta.
Tentu pula kita menolak hadirnya para politisi lain berlagak superhero, yang mengendap-endap mencari panggung di balik karakter rasistik maupun kepentingan golongan tertentu. Ketika kesadaran politik seperti ini sudah terbangun, maka ada harapan kita bahwa politik bukan lagi semata-mata soal masyarakat yang menonton, melainkan warga yang berpartisipasi.