"Dari sembilan fraksi yang disampaikan masing-masing poksi (kelompok fraksi), keseluruhannya menyatakan bahwa penghentian pembahasan terhadap draf RUU Nomor 30 Tahun 2002 minta dihentikan. Keseluruhan fraksi sudah setuju," ujar Ketua Baleg Ignatius Mulyono, yang memimpin rapat pleno Baleg saat itu.
Sejak saat itu, pembahasan revisi UU KPK tidak dilanjutkan sampai akhirnya Jokowi terpilih sebagai Presiden.
Proses tarik ulur revisi UU KPK pada era Jokowi jauh lebih kencang. Dalam waktu kurang dari satu tahun, revisi UU KPK sudah dua kali ditunda.
Era Jokowi bagian I
Upaya revisi UU KPK pada era Jokowi mulai mencuat pada 23 Juni 2015. Sidang paripurna memasukkan revisi UU KPK dalam prioritas Prolegnas 2015.
Tidak ada satu pun fraksi yang menolak revisi UU KPK. DPR beralasan dimasukkannya RUU KPK dalam Prolegnas 2015 karena usulan dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Pada 7 Oktober 2015, draf revisi UU KPK mulai dibahas di rapat Baleg DPR.
Draf tersebut mengatur pembatasan usia institusi KPK hanya sampai 12 tahun, memangkas kewenangan penuntutan, mereduksi kewenangan penyadapan, membatasi proses rekrutmen penyelidik dan penyidik secara mandiri hingga membatasi kasus korupsi yang dapat ditangani oleh KPK.
Ada 45 anggota DPR dari enam fraksi yang menjadi pengusul draf revisi UU KPK tersebut. Sebanyak 15 orang dari Fraksi PDI-P, 11 orang dari Fraksi Nasdem, 9 orang dari Fraksi Golkar, 5 orang dari Fraksi PPP, 3 orang dari Fraksi Hanura, dan 2 orang dari Fraksi PKB.
Kendati demikian, hanya PDI-P yang paham dan mengerti mengenai isi draf tersebut.
Tak membutuhkan waktu lama, rencana revisi ini kembali mendapat penolakan yang keras dari publik, termasuk internal KPK sendiri.
Pada 13 Oktober 2015, pemerintah dan DPR akhirnya sepakat menunda pembahasan revisi UU KPK hingga masa sidang selanjutnya.
Kesepakatan ini tercapai setelah Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR bertemu dalam rapat konsultasi di Istana Negara.