Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menuturkan, publik keliru menilai rencana revisi UU KPK karena kesimpangsiuran informasi.
Ia menegaskan, tidak ada niat melemahkan KPK melalui revisi undang-undang.
"Ada salah tafsir, maka penjelasannya harus proporsional, tak seperti gelembung yang hiperbola," ungkap Yasonna.
Sementara, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan menilai, karena sejumlah informasi terkait substansi revisi.
Informasi itu di antaranya, terkait umur KPK akan dibatasi selama 12 tahun, KPK hanya berwenang menindak pada kasus dugaan korupsi di atas Rp 50 miliar, dan kewenangan penyadapan KPK harus dengan izin pengadilan.
Menurut Luhut, tidak ada substansi tersebut dalam revisi UU KPK.
Ia menegaskan, pembentukan dewan pengawas KPK juga dilakukan untuk mengaudit aktivitas penyadapan yang dilakukan KPK.
Luhut memastikan bahwa KPK tidak perlu meminta izin dewan pengawas saat akan melakukan penyadapan.
"Audit dilakukan setelah KPK melakukan penyadapan, post audit-lah," kata Luhut.
Menurut Luhut, keberadaan dewan pengawas diperlukan untuk memperkuat kinerja KPK. Penunjukan anggota dewan pengawas dilakukan oleh Presiden.
Terkait rencana memberikan kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada KPK, kata Luhut, hal itu juga dilakukan untuk memperkuat penanganan kasus dugaan korupsi.
Kewenangan itu hanya dapat digunakan oleh lima komisioner KPK.
"Jadi kalau dia (tersangka) meninggal, kalau dia paralize, atau ada alat bukti baru yang ditemukan, dia (komisioner KPK) yang memberikan, bukan Presiden atau siapa," ujar Luhut.
Mantan Kepala Staf Kepresidenan itu, menuturkan, revisi UU KPK akan dibahas kembali saat sosialisasi dianggap cukup meningkatkan pemahaman publik.