Menurut dia, keberadaan dewan pengawas akan memunculkan dualisme kepemimpinan di lembaga antikorupsi tersebut.
Apalagi, jika dewan pengawas diberi kewenangan besar seperti memberikan izin penyadapan.
BW menilai, hal itu akan mengganggu independensi KPK dalam bekerja. Menurut BW, ada kecurigaan kuat jika revisi UU KPK ini dilakukan karena desakan politik.
Ia khawatir korupsi di sektor keuangan, jasa, dan infrastruktur tidak tertangani saat KPK terus digembosi, khususnya korupsi yang menggunakan teknologi canggih.
"Ini isu politik, ada kekuasaan yang tidak mau dikontrol," ujar BW.
(Baca: Politisi PDI-P Nilai Ada Tiga Prinsip yang Tak Ada dalam UU KPK Saat Ini)
DPR tak adil
Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar mempertanyakan sikap DPR karena tidak adil dalam mengkritisi lembaga yang memiliki kewenangan menyadap.
Menurut Zainal, patut dicurigai saat DPR hanya menyoroti kewenangan penyadapan KPK tapi tidak mengevaluasi lembaga lain yang memiliki kewenangan serupa.
Ia menuturkan, praktik penyadapan KPK memiliki syarat ketat dan harus seizin lima komisioner.
Selain itu, KPK adalah satu-satunya lembaga penegak hukum yang aktivitas menyadapnya selalu diaudit.
"Kenapa cuma KPK yang diberi barrier (dalam menyadap), dibilang melanggar HAM. Yang lain gimana?" ungkap Zainal.
KPK tak perlu SP3
Selanjutnya, mantan pelaksana tugas komisioner KPK, Johan Budi SP, mengatakan, KPK tidak memerlukan kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) karena proses penyelidikan dan penyidikannya berbeda dengan kepolisian atau Kejaksaan Agung.
"Banyak persepsi yang muncul pengeluaran SP3 itu bisa menjadi barang dagangan, tergantung dengan pesanan terdakwa," kata Johan.