(Baca: Naskah Akademik Revisi UU KPK, Ada atau Tidak?)
Kedua, yakni soal pemberian kewenangan surat perintah pemberhentian penyidikan (SP3). Fickar berpendapat, KPK sebenarnya sudah memiliki kewenangan itu. Namun, bukan pada tahap penyidikan, melainkan pada tahan penyelidikan.
Pasal 44 UU KPK menyatakan, jika dalam tahap penyelidikan telah didapat dua alat bukti yang cukup, penyelidik dapat menyerahkannya ke komisioner untuk digelar perkara dan ditingkatkan ke penyidikan sekaligus penetapan tersangka.
Sebaliknya, jika dalam tahap penyelidikan tidak ditemukan bukti cukup, maka penyelidikan dihentikan melalui SP3 (surat perintah pemberhentian penyelidikan).
"Kalau KPK diberi wewenang menghentikan perkara di tingkat penyidikan, dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan wewenang. Karena kasus-kasus di SP3 pasti ada harganya. Salah satu komisioner KPK, Basaria Panjaitan pun setuju kalau ada SP3," ujar Fickar.
(Baca: Jokowi Bisa Tarik Dukungan Revisi UU KPK)
Ketiga, soal penyadapan yang mesti izin dewan pengawas. Fickar menegaskan, dewan pengawas bukan pelaksana penegakan hukum sehingga tidak bisa diberi wewenang perizinan. Apalagi, penyadapan rentan dengan intervensi politik dan kebocoran informasi di tengah kian masifnya korupsi.
Terakhir, soal KPK tidak lagi berwenang untuk mengangkat penyelidik dan penyidik independen. Fickar menyayangkan revisi ini. Sebab, mencari penyelidik dan penyidik yang berintegritas dan independen adalah hal sulit.
"Penyelidik dan penyidik dari instansi lain mempunyai dua kaki dan dua kepentingan yang pada suatu momen tertentu, akan merugikan kemandirian KPK. Misalnya saat KPK mengusut korupsi di instansi asal dia," ujar Fickar.
Saat ini, DPR masih membahas draft revisi UU KPK. Dalam rapat terakhir, delapan fraksi menyatakan menyetujui revisi itu, yakni Fraksi PDI Perjuangan, PKS, Hanura, Nasdem, PKB, PPP, Golkar, dan PAN.
Adapun, fraksi Gerindra, Demokrat dan PKS menyatakan menolak dengan alasan substansi revisi dianggap melemahkan KPK.