Pertama, melalui upaya hukum, antara lain judicial review Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan juga proses praperadilan di pengadilan negeri yang dapat membatalkan ketetapan tersangka.
Kedua, kriminalisasi komisioner dan pelaksana. Contohnya Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta Abraham Samad dan Bambang Widjojanto di era Presiden Joko Widodo.
Penyidik KPK Novel Baswedan malah lebih tragis. Di era kedua presiden itu kasus lamanya 'diobok-obok' kembali.
Ketiga, perebutan penanganan perkara. Hal itu terjadi pada kasus Anggodo dan Djoko Susilo. Dan yang keempat, perubahan regulasi di DPR RI melalui revisi UU KPK.
(Baca: Sikap Tegas Jokowi soal Revisi UU KPK Dinanti)
"Lahirnya KPK juga ikut melahirkan resistensi dari beberapa pihak, terutama pihak yang paling dirugikan. Resistensi ini kemudian melahirkan upaya pelemahan sepanjang hidup KPK, termasuk saat ini. Revisi UU KPK ini ibarat dendam yang terus membara," ujar Fickar di Sekretariat Indonesia Corruption Watch, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (14/2/2016).
Fickar menyebut pihak-pihak yang disasar KPK adalah pelaku pelemahan terhadap lembaga pemberantas korupsi itu.
Dalam konteks saat ini, Fickar melihat upaya pelemahan dilakukan pemerintah dan DPR RI. Kedua unsur tersebut bersinergi 'mempreteli' kewenangan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal itu terlihat dari poin-poin yang diusulkan untuk direvisi.
Empat substansi yang hendak direvisi, yakni penggunaan wewenang SP3, dibentuknya dewan pengawas KPK, penyadapan mesti seizin dewan pengawas dan meniadakan perekrutan penyidik dan penyelidik independen.
"Jika ada yang bilang revisi UU KPK ini justru memperkuat kewenangan KPK, saya rasa itu hanya mengelabui saja," ujar Fickar.
Bedah substansi revisi
Membicarakan revisi UU KPK tidak lagi soal melemahkan atau menguatkan. Kelompok yang menolak revisi UU KPK pun membedah satu per satu pasal yang dianggal melemahkan KPK dalam revisi undang-undang itu.
Salah satu yang disoroti adalah keberadaan dewan pengawas misalnya. Menurut Fickar, usulan ini adalah kesesatan dalam berfikir. Sebab, dewan pengawas yang diusulkan dilantik oleh Presiden bukan bagian dari unsur penegak hukum yang mempunyai fungsi yudisial. Keberadaannya malah berpotensi mengintervensi kerja KPK.
"Mekanisme hukum untuk mengawasi itu telah tersedia. Salah satunya oleh DPR. Secara yuridis pun, ada mekanisme kontrol KPK, yaitu lewat praperadilan, judicial review dan lain-lain," ujar dia.
(Baca: Naskah Akademik Revisi UU KPK, Ada atau Tidak?)
Kedua, yakni soal pemberian kewenangan surat perintah pemberhentian penyidikan (SP3). Fickar berpendapat, KPK sebenarnya sudah memiliki kewenangan itu. Namun, bukan pada tahap penyidikan, melainkan pada tahan penyelidikan.
Pasal 44 UU KPK menyatakan, jika dalam tahap penyelidikan telah didapat dua alat bukti yang cukup, penyelidik dapat menyerahkannya ke komisioner untuk digelar perkara dan ditingkatkan ke penyidikan sekaligus penetapan tersangka.
Sebaliknya, jika dalam tahap penyelidikan tidak ditemukan bukti cukup, maka penyelidikan dihentikan melalui SP3 (surat perintah pemberhentian penyelidikan).
"Kalau KPK diberi wewenang menghentikan perkara di tingkat penyidikan, dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan wewenang. Karena kasus-kasus di SP3 pasti ada harganya. Salah satu komisioner KPK, Basaria Panjaitan pun setuju kalau ada SP3," ujar Fickar.
(Baca: Jokowi Bisa Tarik Dukungan Revisi UU KPK)
Ketiga, soal penyadapan yang mesti izin dewan pengawas. Fickar menegaskan, dewan pengawas bukan pelaksana penegakan hukum sehingga tidak bisa diberi wewenang perizinan. Apalagi, penyadapan rentan dengan intervensi politik dan kebocoran informasi di tengah kian masifnya korupsi.
Terakhir, soal KPK tidak lagi berwenang untuk mengangkat penyelidik dan penyidik independen. Fickar menyayangkan revisi ini. Sebab, mencari penyelidik dan penyidik yang berintegritas dan independen adalah hal sulit.
"Penyelidik dan penyidik dari instansi lain mempunyai dua kaki dan dua kepentingan yang pada suatu momen tertentu, akan merugikan kemandirian KPK. Misalnya saat KPK mengusut korupsi di instansi asal dia," ujar Fickar.
Saat ini, DPR masih membahas draft revisi UU KPK. Dalam rapat terakhir, delapan fraksi menyatakan menyetujui revisi itu, yakni Fraksi PDI Perjuangan, PKS, Hanura, Nasdem, PKB, PPP, Golkar, dan PAN.
Adapun, fraksi Gerindra, Demokrat dan PKS menyatakan menolak dengan alasan substansi revisi dianggap melemahkan KPK.