Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demokrat: KPK Bisa Bubar Kalau Revisi Tetap Dijalankan

Kompas.com - 11/02/2016, 19:25 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sikap Partai Demokrat menolak revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali ditegaskan oleh anggota Badan Legislatif (Baleg) Jefri Riwu Kore.

Menurut Jefri, perubahan UU KPK sangat tidak tepat karena akan melemahkan kpk dalam melakukan pemberantasan korupsi.

"Kami Fraksi Partai Demokrat menolak tegas revisi tersebut agar KPK bisa bekerja secara maksimal dalam pemberantasan korupsi. KPK bisa bubar kalau revisi ini dijalankan," ucap Jefri melalui keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Kamis (11/2/2016).

Ada beberapa poin revisi yang ditolak oleh Fraksi Partai Demokrat, antara lain terkait Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan izin penyadapan melalui dewan pengawas.

(Baca: Pro dan Kontra Isi Revisi UU KPK, Apa Kata Jokowi?)

Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat Ruhut Sitompul mengungkapkan, KPK tidak memerlukan SP3 karena sejak awal sangat berhati-hati dalam menetapkan seorang tersangka.

Terbukti, sejak berdiri hingga saat ini, semua tersangka akhirnya divonis bersalah di pengadilan.

"Dari 2002 sampai sekarang belum ada satupun yang bebas murni," kata Ruhut di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (10/2/2016).

Ruhut juga mengaku tidak setuju dengan aturan penyadapan yang harus melalui izin dewan pengawas. Menurut Ruhut, KPK selama ini pun sangat hati-hati dalam melakukan penyadapan.

(Baca: PDI-P Kritik Sikap SBY yang "Balik Badan" soal Revisi UU KPK)

"KPK menyadap ada SOP-nya. Tidak asal-asalan," ucap anggota Anggota Komisi III DPR itu.

Ruhut justru khawatir nantinya penyadapan yang dilakukan KPK akan bocor jika harus mendapatkan izin dari dewan pengawas. Menurut dia, orang-orang di dewan pengawas juga hanya manusia biasa yang tidak akan bebas dari kepentingan.

"Pasti akan bocor," ucap Ruhut.

(Baca: SBY Tiba-tiba Instruksikan F-Demokrat Tolak Revisi UU KPK)

Sementara itu, poin yang sudah disepakati sejauh ini oleh fraksi lainnya, kecuali Demokrat dan Gerindra, meliputi pembentukan dewan pengawas KPK, penyadapan dan penyitaan harus seizin dewan pengawas, pemberian wewenang bagi KPK untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan.

Kemudian, larangan bagi pimpinan KPK yang mengundurkan diri untuk menduduki jabatan publik, serta pemberhentian bagi pimpinan KPK yang dijatuhi pidana berdasarkan vonis pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal 'Presidential Club' Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Soal "Presidential Club" Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Nasional
KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com