Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gaya Berbeda Tiga Era Pimpinan KPK Tangani Kriminalisasi Novel Baswedan

Kompas.com - 07/02/2016, 09:38 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Tiga era pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani kasus kriminalisasi terhadap penyidiknya, Novel Baswedan, dengan cara berbeda-beda.

Kegaduhan terkait Novel pertama kali mencuat pada Oktober 2012. Saat itu, Novel tiba-tiba ditangkap sejumlah petugas Polda Bengkulu, dibantu beberapa perwira Polda Metro Jaya, di Gedung KPK.

Alasannya, Novel telah ditetapkan menjadi tersangka dugaan penganiayaan terhadap pencuri sarang burung walet hingga meninggal dunia.

Kasus tersebut sudah lama terjadi, saat Novel bertugas di Polresta Bengkulu pada 2004.

Era Abraham Samad

Kriminalisasi terhadap Novel terjadi saat KPK menangani dugaan korupsi simulator SIM dan menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka.

Saat itu, kursi pimpinan KPK masih diisi oleh Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Praja, Busyro Muqoddas, dan Zulkarnain.

Pimpinan KPK saat itu berhasil menuntaskan kasus Novel setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan.

"Era BW, modelnya main di tempat terang. Dukungan publik besar, Presiden bertindak," ujar pengacara Novel, Muji Kartika Rahayu, atau yang akrab disapa Kanti.

Dalam pidatonya, SBY pernah menyampaikan bahwa penetapan Novel sebagai tersangka tidak tepat dari segi cara dan waktunya.

SBY juga meminta KPK melanjutkan penanganan kasus Djoko Susilo.

Era Taufiequrrachman Ruki

Kriminalisasi terhadap Novel tak berhenti sampai di situ. Pada Jumat (1/5/2015), Novel ditangkap di kediamannya.

Ternyata, alasan penangkapannya masih sama seperti beberapa tahun silam, dengan kasus yang sama.

Saat itu, formasi pimpinan KPK telah berganti.

Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dinonaktifkan karena ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Busyro Muqoddas pun telah mengakhiri masa kerjanya.

Kemudian, Presiden RI Joko Widodo menunjuk Taufiequrrachman Ruki, Indriyanto Seno Adji, dan Johan Budi sebagai pelaksana tugas pimpinan KPK.

Pimpinan KPK melakukan berbagai cara komunikasi dengan Polri dan Kejaksaan untuk menghentikan perkara Novel. Bahkan, saat itu ada dua kali upaya menangkap Novel.

Novel sempat ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua. Beberapa bulan kemudian, Novel dibawa ke Bengkulu untuk ditahan.

Pimpinan KPK intens melobi Polri untuk membebaskan Novel. Meski sempat buntu, akhirnya Novel tak jadi dibui.

"Era Plt, modelnya telepon sana-sini, gayanya lewat jalur belakang," kata Kanti.

Kanti menilai, Jokowi pun tidak tegas untuk menghentikan kriminalisasi. Jokowi hanya melarang penahanan, tetapi tidak memerintahkan penghentian kasus Novel.

Era Agus Rahardjo

Pada akhir Januari lalu, Pengadilan Negeri Bengkulu mengaku telah menerima pelimpahan berkas Novel dari Kejaksaan Negeri Bengkulu.

Dengan demikian, dalam beberapa hari, kasus Novel siap disidangkan. Tim kuasa hukum pun telah menerima berkas dakwaan.

Beberapa hari kemudian, dalam konferensi pers, Ketua KPK jilid IV Agus Rahardjo mengumumkan bahwa pengadilan telah menarik berkas dakwaan untuk disempurnakan.

Keputusan tersebut pun tidak melegakan karena masih ada kemungkinan perkara Novel terus berlanjut.

Namun, belakangan diketahui bahwa perkara Novel dibarter dengan kelanjutan nasibnya di KPK. Perkaranya akan dihentikan asal Novel hengkang dari KPK.

"Ini era Agus cs, barter. Kita akan tetap fokus pada penghentian tanpa barter," kata Kanti.

Novel menolak tawaran tersebut. Hingga saat ini, Novel dan pengacaranya masih berjuang agar perkara dihentikan.

Menurut dia, semestinya pimpinan KPK juga memperjuangkan hal yang sama. Kanti menganggap, tak ada alasan yang layak untuk melanjutkan perkara Novel.

Terlebih lagi, sudah ada rekomendasi Ombudsman RI yang menemukan sejumlah maladministrasi dalam perkara itu.

"Penghentian itu konsekuensi logis dari banyaknya kesalahan delam penanganan. Presiden juga memerintahkan penyelesaian, bukan penyelesaian dengan barter," pungkas Kanti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Angota Paspampres Jokowi

Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Angota Paspampres Jokowi

Nasional
Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Nasional
Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta Bersama Pengacara

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta Bersama Pengacara

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Nasional
Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

Nasional
Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Nasional
Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Nasional
Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Nasional
Jokowi Kembali Ingatkan agar Anggaran Tidak Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Jokowi Kembali Ingatkan agar Anggaran Tidak Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Nasional
Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Nasional
Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Nasional
Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

Nasional
Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak 'Heatwave'

Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak "Heatwave"

Nasional
Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar, tapi dari Bawah

Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar, tapi dari Bawah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com