Sembilan tahun sudah aksi Kamisan berlangsung di lokasi yang sama. Aksi ini merupakan bentuk perjuangan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dalam menuntut negara menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Payung hitam yang dibentangkan di depan Istana Negara seolah menjadi sindiran akan upaya perlindungan pemerintah terharap warga negaranya. (Baca: Sembilan Tahun "Kamisan", Titik Terang yang Kembali Redup)
Selama sembilan tahun, suka dan duka dialami para aktivis yang berjuang melalui aksi Kamisan, mulai dari dilarang menggelar aksi Kamisan hingga diancam dibubarkan.
Lantas, apa yang membuat para aktivis itu tetap bertahan?
"Tetap ada peluang untuk membawa kasus Munir ke ranah hukum, meski kita tahu seperti apa ruang hukum di Indonesia. Tetap harus optimistis mendorong para hakim dan jaksa untuk berani mengungkapkan kebenaran. Kalau tidak optimistis, saya tidak akan melakukan Kamisan," ujar Suciwati, istri aktivis HAM Munir Said Thalib yang diduga dibunuh di dalam pesawat saat menuju Amsterdam.
Suciwati secara rutin mengikuti aksi Kamisan di depan Istana. Ia mengatakan, banyak jalan untuk menuntaskan kasus Munir, meskipun tidak selalu melalui jalur yudisial.
Tagih janji Jokowi
Sampai saat ini, menurut dia, temuan tim pencari fakta kasus Munir pun belum diumumkan pemerintah.
Padahal, menurut Suciwati, ada temuan baru yang perlu diungkapkan. Suciwati mencontohkan peristiwa yang terjadi pada 2014, atau ketika Allan Nairn, seorang jurnalis Amerika Serikat, melaporkan mantan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono ke Komnas HAM.
Nairn mengaku memiliki transkrip wawancaranya dengan Hendropriyono. Menurut Nairn, saat diwawancara, Hendro mengaku siap diadili atas beberapa kasus sekaligus, termasuk kasus Munir.
Meskipun demikian, Suciwati mengaku yakin bahwa pemerintahan Joko Widodo akan menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kasus Munir.
Kendati demikian, Suciwati menegaskan bahwa pihaknya menunggu komitmen Jokowi untuk merealisasikan janji kampanyenya itu. (Baca: 9 Tahun, Aksi Kamisan Dianggap seperti Institusi bagi Korban HAM)
"Sebenarnya saya optimistis pada pemerintahan Jokowi karena ia tidak punya rekam jejak sebagai pelanggar HAM, ya meskipun orang-orang di sekelilingnya adalah pelaku pelanggaran HAM. Ini sudah satu tahun kepemimpinan Jokowi, kami masih menunggu komitmen Jokowi. Karena kami pernah menjadi komoditas pada masa pilpres," ujar dia.
Optimisme dalam mencari keadilan juga ditunjukkan Maria Katarina Sumarsih, ibu dari BR Norma Irmawan (Wawan), mahasiswa korban peristiwa Semanggi I pada 13 November 1998.
Wawan yang tergabung dalam Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) itu tertembak peluru tajam di kawasan Semanggi saat demonstrasi mahasiswa 1998.
"Sekecil apa pun harapan, saya akan selalu tetap optimistis. Pernyataan Pak Jokowi pada saat hari hak asasi manusia menunjukkan ia akan berani mencari terobosan untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, baik secara yudisial, non-yudisial, maupun rekonsiliasi," ujar Sumarsih.
Terkait wacana pemerintah untuk menempuh jalur rekonsiliasi, Sumarsih mengaku tidak berkeberatan sepanjang pengadilan HAM ad hoc berjalan.
Sesuai UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, mekanisme pembentukan pengadilan HAM ad hoc berawal dari penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM. Kemudian, Jaksa Agung menindaklanjuti berkas penyelidikan tersebut.
Bila ditemukan bukti adanya pelanggaran berat HAM, maka DPR akan memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc melalui Keppres.
"Kadang saya merasa putus asa. Namun, melihat banyaknya kekerasan yang dilakukan oleh petinggi negara, membuat saya tidak ingin tinggal diam. Kekerasan tidak boleh dibiarkan, hukum harus ditegakkan," ucap dia.
Bagi Sumarsih dan keluarga korban yang lain, aksi Kamisan menjadi harapan mereka untuk mengingatkan Presiden Joko Widodo mewujudkan komitmennya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. (Baca: Peringati 9 Tahun Kamisan, Keluarga Korban HAM Bagi-bagi Mawar untuk Polisi)
"Saya akan terus melalukan aksi ini sampai kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II dibawa ke meja pengadilan HAM ad hoc. Sampai tidak terjadi lagi pelanggaran HAM di negara ini," ujar Sumarsih.