Jangan diam! Lawan!" seru peserta aksi kamisan seusai melakukan refleksi, di depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (26/11). Refleksi dilakukan setelah mereka selesai menggelar aksi kamisan, yaitu aksi berdiri mematung sembari membawa poster dan payung hitam.
Kamis kemarin merupakan aksi ke-421. Aksi diam ini pertama kali dilakukan pada Kamis, 18 Januari 2007.
Aksi itu dilakukan karena negara dinilai sengaja mengabaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia. "Aksi payung hitam" menjadi salah satu upaya untuk bertahan dalam memperjuangkan pengungkapan kebenaran, mencari keadilan, sekaligus melawan lupa.
Setelah delapan tahun berlalu, semangat itu tak luntur meski dihantui pelarangan karena aturan yang tak lagi memperbolehkan mereka berdiri diam di depan salah satu simbol negara tersebut.
Kamis kemarin merupakan pekan ketiga sejak upaya pelarangan oleh aparat dengan memberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Aturan yang sudah ada sejak 17 tahun lalu itu entah kenapa baru mulai digalakkan saat ini.
UU No 9/1998 yang ditandatangani Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie itu memuat ketentuan tentang lokasi-lokasi penyampaian pendapat di muka umum.
Pasal 9 Ayat (2) UU itu menyebutkan, lingkungan istana kepresidenan dikecualikan dari lokasi penyampaian pendapat.
Di bagian penjelasan disebutkan, "Yang dimaksud dengan pengecualian di lingkungan istana kepresidenan adalah istana presiden dan istana wakil presiden dengan radius 100 meter dari pagar luar."
Padahal, sejak awal kamisan digelar, lokasi penyampaian pendapat tak pernah berubah, lebih kurang 50 meter dari Istana Presiden. Selama 8 tahun, mereka tidak pernah diusik oleh pemerintah yang berkuasa dengan dalih regulasi.
"Karena kami juga tidak pernah mengganggu," ujar Maria Katarina Sumarsih (52), yang aktif dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan sekaligus orangtua Bernardus Realino Norma Irawan, korban Tragedi Semanggi I.
Sebenarnya, lokasi 100 meter dari Istana Negara hanya bergeser tak jauh dari tempat yang selama ini digunakan, yaitu di dekat taman yang berada di seberang Istana.
Di dekat taman itu dipasang papan berwarna kuning sebagai pembatas dengan tulisan "Batas Lokasi Penyampaian Pendapat di Muka Umum".
Hanya saja, lokasi di belakang papan itu kurang strategis dan tak langsung menghadap ke Istana.
"Berhadapan dengan Istana saja, apa yang kami perjuangkan tak didengar. Apalagi dipindahkan," kata salah satu korban peristiwa 1965, Kusnendar (83).