JAKARTA, KOMPAS - Setelah secara cermat membaca rekaman pembicaraan Ketua DPR, seorang pengusaha, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Presiden akhirnya habis kesabaran dan tidak dapat menyembunyikan kegeraman.
Ia mengungkapkan kemarahan dengan santun, tidak meledak-ledak; dengan muka sedikit menunduk secara cekak aos (singkat), menyatakan kemurkaan bukan karena kata-kata yang merendahkan dirinya, orang yang koppig (keras kepala), dan lain-lain.
Rekaman yang menyulut kemarahannya karena nama Presiden dikaitkan dengan transaksi gelap, permintaan saham Freeport, yang merendahkan serta menghina martabat dan wibawa negara.
Bahasa tubuhnya menyiratkan keprihatinan mendalam dan mungkin sedang memikirkan langkah selanjutnya yang harus dilakukan.
Sebelumnya, banyak tokoh masyarakat dan Wakil Presiden lebih dahulu mengungkapkan kekesalan terhadap isi pembicaraan tersebut.
Sementara itu, masyarakat mengekspresikan kejengkelan dengan berbagai cara, baik melalui media maupun aksi-aksi nyata lain.
Kegalauan publik semakin meluap setelah sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menunjukkan tanda-tanda sebagian dari anggotanya memamerkan sikap partisan. Semakin lama sidang MKD semakin kehilangan kredibilitasnya.
Kegalauan publik juga dapat dilihat dari hasil jajak pendapat Kompas (14/12/2015) yang menyatakan lebih dari 80 persen responden menyatakan kehadiran Ketua DPR dengan pengusaha dan pimpinan Freeport yang membicarakan negosiasi perusahaan, membawa nama Presiden dan Wakil Presiden minta saham Freeport, tidak pantas.
Lebih dari 70 persen responden tidak percaya MKD bebas dari intervensi politik. Lebih dari 80 persen menyatakan Setya Novanto tak layak menjadi Ketua DPR.
Setiap musibah selalu dimungkinkan diubah menjadi berkah. Demikian pula dalam kasus Freeport kali ini.
Momentum ini harus dimanfaatkan untuk mengembalikan kiblat dan amanat konstitusi Pasal 33 UUD 1945 Ayat 3 yang menegaskan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.