Oleh: Ayu Siantoro
JAKARTA, KOMPAS - Hampir dua bulan sejak pemerintah menyetorkan nama delapan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ke Dewan Perwakilan Rakyat, uji kelayakan dan kepatutan belum juga digelar. Penundaan itu menyebabkan runtuhnya kepercayaan publik terhadap komitmen Parlemen dalam pemberantasan korupsi.
Masa jabatan pimpinan KPK akan berakhir 16 Desember 2015. Akan tetapi, kurang dari sebulan sebelum tanggal tersebut, belum ada tanda-tanda uji kelayakan dan kepatutan pimpinan KPK yang baru akan dilaksanakan. Padahal, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan delapan nama calon pimpinan KPK periode 2015-2019 hasil kerja panitia seleksi pada 1 September 2015.
Alih-alih melaksanakan tugasnya sesuai undang-undang (UU), Komisi III DPR malah berkali-kali mengadakan rapat dengar pendapat dengan Pansel Capim KPK. Mereka terus mempertanyakan perihal administrasi dan metode seleksi yang dilakukan pansel. Padahal, soal mekanisme seleksi dan penjaringan yang dilakukan merupakan ranah kewenangan pansel.
Bukan kebaikan yang diperoleh dari tindakan DPR tersebut. Tujuh dari sepuluh responden menyangsikan proses seleksi pimpinan KPK oleh DPR berlangsung tanpa campur tangan kepentingan politik sempit. Sebanyak 68 persen responden malah sudah jatuh tak percaya. Ketika uji kelayakan dan kepatutan tiba waktunya dilaksanakan, kredibilitas DPR menyeleksi calon tetap dipertanyakan.
Bagaimanapun, publik ragu DPR mampu bersikap obyektif dalam menilai kapasitas calon pimpinan KPK. Kepentingan politik anggota DPR akan menjadi pertaruhan, baik dalam proses seleksi maupun pasca seleksi nantinya. Sulit dimungkiri bahwa "pasien" langganan KPK yang terbesar masih berkisar di level penyelenggara negara berupa wakil rakyat selain kepala daerah.
Oleh karena itu, profesionalitas para anggota DPR pun disangsikan oleh mayoritas publik (62 persen responden). Dalam hal seleksi KPK, kepentingan rakyat yang seharusnya menjadi prinsip utama DPR untuk memilih pimpinan KPK dinilai telah ditinggalkan para politisi.
Penundaan proses seleksi oleh DPR dikhawatirkan mengancam kelancaran pengusutan kasus-kasus korupsi kakap. Hampir dua pertiga responden menengarai penundaan itu cenderung bermaksud melemahkan KPK. Terlebih lagi, baru-baru ini DPR juga memunculkan wacana penyusunan revisi UU KPK yang isinya disinyalir mengandung usaha-usaha pengebirian wewenang KPK.