KOMPAS.com – Tubuhnya kurus dan mungil, namun raut wajahnya tegas. Dia berani banting setir dari pekerjaan nyaman sebagai seorang guru menjadi jurnalis yang mengkritik kolonialisme.
Meski seorang perempuan, dia tak gentar meski harus keluar masuk penjara akan keyakinannya. Itulah Soerastri atau yang lebih dikenal dengan Soerastri Karma Trimurti (SK Trimurti).
Soerastri terbilang unik. Di saat banyak orang di negeri ini berloma-lomba menjadi pejabat, dia justru menolaknya.
"Saya merasa tidak mampu, saya belum pernah menjadi menteri," kata Trimurti seperti yang dikutip oleh Soebagijo IN dalam bukunya, “SK Trimurti, Wanita Pengabdi Bangsa”.
Namun, setelah dipertimbangkan matang, Soerastri akhirnya mau mengambil posisi sebagai Menteri Perburuhan pertama di kabinet Amir Syarifuddin I dan Amir Syarifuddin II.
Asvi Warman Adam, dalam bukunya “Menguak Misteri Sejarah”, menyebutkan gaji menteri di masa lampau tidak setinggi saat ini. Saat Soerastri memutuskan menjadi menteri, gajinya hanya Rp 750,- per bulan.
Padahal, saat menjadi jurnalis, kebutuhan Soerastri terpenuhi dengan penghasilan Rp 3.000,- per bulan dari hasil tulisannya di berbagai media massa.
Namun, demi mengabdi untuk negara, Soerastri tak ragu hidup sangat sederhana.
Selama menjadi menteri, dia terpaksa menjual barang-barang untuk keperluan hidup. Hal ini dilakuannya, karena sebagai menteri, dia tidak boleh “nyambi” pekerjaan lain.
Setelah menuntaskan tugas sebagai Menteri Perburuhan pertama, perempuan kelahiran Boyolali, Jawa Tengah, 11 Mei 1912 itu kembali mendapat tawaran menjadi menteri.
Tawaran itu datang langsung dari Presiden Soekarno pada tahun 1959.