Pertanyaan ini menjadi konkret, kalau kita juga bertanya apakah para pimpinan dan anggota DPR dalam setahun ini semakin berkembang dalam tugas mereka, dan sudah melampaui tahapan sibuk sendiri dengan urusannya masing-masing dan bukan dengan urusan rakyat yang mereka wakili?
Nawacita memang menjadi rujukan kritik dan penilaian. Tetapi, Nawacita adalah kerangka kerja atau framework untuk jangka panjang dan bukan untuk satu tahun kerja. Bahkan dalam lima tahun pemerintahan Jokowi pun beberapa agenda Nawacita sangat mungkin belum dapat direalisasikan seluruhnya.
Lebih penting untuk dipertanyakan apakah sudah diambil langkah-langkah untuk meletakkan landasan bagi realisasi agenda Nawacita setahap demi setahap. Kemandirian ekonomi nasional, memang belum terwujud, tetapi sudah terlihat kesadaran dan tekad untuk menggerakkan sektor-sektor ekonomi domestik.
Komoditas yang bisa diproduksi di dalam negeri, tidak perlu diimpor. Kebiasaan mengimpor beras, kedelai, garam, dan gula dibatasi, dan didorong inisiatif untuk memproduksinya di dalam negeri. Presiden merujuk Badan Pusat Statistik bahwa produksi beras dalam negeri meningkat 5,5 juta ton, tetapi susah diketahui di mana stoknya.
Kita teringat dalil Amartya Sen, pemenang Nobel untuk Ilmu Ekonomi 1998, bahwa kelaparan tidak disebabkan oleh tidak adanya makanan, tetapi karena makanan yang ada itu tidak bisa diakses oleh mereka yang membutuhkan.
Kelaparan diatasi dengan meningkatkan kemampuan mendatangkan makanan melalui cara-cara yang dibenarkan hukum. Tugas pemerintah adalah meningkatkan the ability to command food through legal means available in the society.
Satu hal sulit diragukan, yaitu perhatian Jokowi ke daerah-daerah, juga daerah di pinggiran. Mungkin baru sekali ini seorang presiden Indonesia mengunjungi 220 daerah dalam waktu satu tahun, atau rata-rata empat kali seminggu.
Pembangunan jalan kereta api sudah direncanakan tahun depan, sedangkan bendungan sudah dibangun pula di beberapa daerah. Menggerakkan ekonomi dari pinggiran masih makan waktu, tetapi perhatian ke daerah pinggiran sudah nyata.
Pada titik itu, kesulitan masyarakat yang ditanggapi dengan tindakan dan pengertian, akan membentuk sosok pemimpinnya menurut dalil sosiologi bahwa pemimpin adalah konstruksi sosial masyarakat yang dipimpinnya.
Ignas Kleden
Sosiolog; Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Konstruksi Sosial Pemimpin".