Selain masalah ekonomi-politik, ada juga berbagai masalah sosial-politik yang belum seluruhnya diselesaikan secara memuaskan. Masalah sosial ini pada intinya bersinggungan dengan hubungan demokratis dalam kehidupan sehari-hari.
Selama Orde Baru masalah sosial lebih berat ke sosial-politik dengan jalur vertikal, antara masyarakat dan negara, yaitu antara rakyat dan pemerintah.
Pembatasan partisipasi politik selama Orde Baru, menyebabkan rakyat tidak dapat mengembangkan dirinya, karena kebebasan mereka banyak dibatasi, sementara berbagai ekspresi politik yang tidak sejalan dengan keinginan penguasa dihadapi secara represif.
Dalam pemerintahan setelah Reformasi 1998, dan khususnya dalam pemerintahan Presiden Jokowi, masalah sosial-politik itu berubah sifat menjadi masalah sosial-budaya dengan jalur horizontal, yaitu hubungan antara kelompok-kelompok masyarakat, baik kelompok etnis maupun kelompok agama.
Hubungan antar-etnik kadang kala meruncing di daerah, bersamaan dengan penerapan pilkada secara langsung, meski pun diberlakukannya otonomi daerah sejak 2001 yang dilaksanakan tidak selalu secara bijaksana, cenderung meningkatkan provinsialisme.
Ryaas Rasyid, yang ketika menjadi menteri kabinet menggagas dan memberlakukan otonomi daerah, mengatakan dalam sebuah diskusi pada 16 Oktober lalu, bahwa pemilihan presiden hampir tidak mempunyai implikasi dalam hubungan antarkelompok.
Presiden terpilih segera dilantik, dan calon yang kalah, meski pun melakukan protes, akan bekerja seperti biasa tanpa beban rasa malu yang berlebihan. Tetapi, seorang calon bupati di daerah yang kalah dalam pilkada, akan kehilangan muka kalau berhadapan dengan para pendukung atau lawan politiknya.
Masalah politik pilkada mudah sekali menjelma menjadi ketegangan dalam hubungan keluarga, hubungan kekerabatan, dan hubungan antarkelompok karena orang-orang saling mengenal secara pribadi, dan belum terbiasa melihat masalah politik sebagai sesuatu yang terpisah dari hubungan pribadi. Kekalahan politik masih dipandang aib pribadi atau kelompok.
Selain itu hubungan antarkelompok agama juga mengandung sensitivitas yang dapat menimbulkan konflik dan kekerasan. Selain faktor-faktor luar yang menyulut konflik, ada sesuatu dalam watak agama-agama itu sendiri yang potensial menimbulkan ketegangan, meski pun tiap agama melarang permusuhan dan kekerasan.