Problema interpretasi
Di tataran pemerintahan telah dibuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang menorehkan arahan induk kurang lebih 15 halaman (I.92-I.107) tentang revolusi mental dalam bingkai sistematika Trisakti. Dalam bahasa pembangunan, arahan induk tersebut logikanya menjadi payung dan memberikan tuntunan bagi perumusan pembangunannya ke dalam Bidang dan Sektor. Namun, justru di sini agaknya diperlukan kewaspadaan. Arahan dalam RPJM yang bernuansa normatif mungkin belum mampu menjadi arahan yang mudah ditangkap.
Sebagai arahan, revolusi mental bersifat lintas bidang dan sektor. Adaptasi dan elaborasinya ke dalam program sering tersandung problema interpretasi, apalagi kalau mesti ditaruh dalam konteks prioritas tahunan. Tidak pernah mudah merunut konsistensi antara arahan induk dengan jabaran dan pelaksanaan program tahunan. Sementara itu, mesin birokrasi sebagai pelaksana harus berpegang pada norma administrasi dan peraturan perundang-undangan yang ada (yang tidak memberi banyak ruang gerak untuk berimprovisasi secara out of the box yang acap berkonotasi "penyimpangan" atau malah sangkaan "korupsi" dan akan menghadapkannya dengan penegak hukum).
Pantas dicatat, ukuran penilaian dan cara penggunaan ukuran keberhasilan kegiatan yang bersifat nonfisik juga bukan soal sederhana. Kalau birokrasi saja kesulitan, apalagi masyarakat yang selama ini sudah memiliki pengertian dan persepsi mereka tentang problema dan anomali sekitar mentalitas tadi.
Tidak mudah mengelola kesenjangan ketika persepsi dan pengertian telah berjarak. Tampaknya tidak bisa lain, gerakan nasional untuk mengubah dan memperbarui mental dan mentalitas bangsa mesti terwujud dalam dua jalur. Keduanya harus didekati secara bersamaan, serentak dan paralel. Jalur pendidikan dan pengajaran adalah yang utama. Dalam bahasa apa pun yang dikuasai para pendidik hingga pimpinan bagian pemerintahan yang mengelola fungsi pendidikan dan pembinaan kerukunan kehidupan beragama sangat diharapkan mau dan mampu membuat penggarisan yang jelas dalam kurikulum pengajaran sesuai tahapannya. Apa bentuknya dan bagaimana metode untuk mengubah dan membangun mentalitas bangsa yang antara lain meliputi etika, disiplin, toleransi, harga diri dan kehormatan bangsa, etos kerja dan produktivitas dan lain-lain tadi, sudah pastilah beliau-beliau itu yang lebih mafhum. Para pemimpin tadi mesti berani meletakkan kerangka yang jelas dan dapat dilaksanakan secara nasional.
Pada saat yang sama, adalah jalur keteladanan dalam kepemimpinan, baik di lingkungan pemerintahan, perusahaan, maupun organisasi apa pun nama atau bentuknya, dan utamanya keteladanan dalam keluarga. Keteladanan memang harus dimulai dari atas dan tampil dalam sebuah gerakan nasional. Sikap dan tindak apa saja yang dianjurkan sebagai keteladanan, dan dilakukan sebagai contoh dalam gerak kehidupan sehari-hari, perlu dipikirkan matang. Mungkin tak perlu segala sesuatu harus tersusun lengkap, sekaligus, dan sekali jadi. Semua juga maklum, tak ada yang bisa cepat dan sekali jadi dalam membangun mentalitas sebuah bangsa.