Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MK: Calon Tunggal Dipilih Melalui Kolom "Setuju" dan "Tidak Setuju"

Kompas.com - 29/09/2015, 15:20 WIB
Abba Gabrillin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi menetapkan norma baru dalam mekanisme pemilihan kepala daerah dengan satu pasangan calon (calon tunggal). MK mengatur bahwa pemilihan calon tunggal dilakukan menggunakan kolom "setuju" dan "tidak setuju".

Sebelumnya, pemohon dalam uji materi ini, yaitu pakar komunikasi politik Effendi Gazali, meminta agar MK memberikan mekanisme baru dalam pemilihan kepala daerah bagi calon tunggal. Ia meminta agar dalam putusannya, MK mengatur bahwa pemilihan calon tunggal menggunakan kotak kosong dalam surat suara. (baca: MK Putuskan Calon Tunggal Tetap Mengikuti Pilkada Serentak)

"Mahkamah tidak sependapat dengan permohonan pemohon yang meminta MK untuk memaknai calon tunggal dapat diterima dengan mekanisme dengan kotak kosong, sebab pemilihan satu paslon seharusnya upaya terakhir setelah pencalonan dilakukan dengan sungguh-sungguh," ujar hakim Suhartoyo, dalam sidang putusan, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (29/9/2015).

Suhartoyo mengatakan, pemilihan melalui kolom "setuju" dan "tidak setuju" bertujuan memberikan hak masyarakat untuk memilih calon kepala daerahnya sendiri. Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam demokrasi, masyarakat diberikan hak untuk mengikuti pemilihan, termasuk untuk memilih menunda pemilihan.

Menurut Suhartoyo, apabila yang memilih kolom "setuju" lebih banyak, maka calon tunggal itu ditetapkan sebagai kepala daerah. Tetapi, jika lebih banyak yang memilih "tidak setuju", maka pelaksanaan pilkada di daerah tersebut akan ditunda hingga pilkada pada periode selanjutnya.

"Penundaan seperti itu tidak bertentangan dengan konstitusi, karena rakyatlah yang menentukan penundaan dengan suara tidak setuju kepada pasangan calon tunggal," kata dia.

Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru mengajukan uji materi Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Pada intinya, para pemohon merasa hak konstitusional pemilih dirugikan apabila pemilihan kepala daerah serentak di suatu daerah mengalami penundaan hingga 2017. Pasalnya, UU Pilkada mengatur bahwa syarat minimal pelaksanaan pilkada harus diikuti oleh dua pasangan calon kepala daerah.

Saat ini, ada tiga daerah yang memiliki calon kepala daerah tidak lebih dari satu pasangan. Daerah itu adalah Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Timor Tengah Utara di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Usut Dugaan Pengadaan Barang dan Jasa Fiktif di PT Telkom Group, Kerugian Capai Ratusan Miliar

KPK Usut Dugaan Pengadaan Barang dan Jasa Fiktif di PT Telkom Group, Kerugian Capai Ratusan Miliar

Nasional
Anggota DPR Sebut Pembubaran People’s Water Forum Coreng Demokrasi Indonesia

Anggota DPR Sebut Pembubaran People’s Water Forum Coreng Demokrasi Indonesia

Nasional
Namanya Disebut Masuk Bursa Pansel Capim KPK, Kepala BPKP: Tunggu SK, Baru Calon

Namanya Disebut Masuk Bursa Pansel Capim KPK, Kepala BPKP: Tunggu SK, Baru Calon

Nasional
Tutup Forum Parlemen WWF, Puan Tekankan Pentingnya Ketahanan Air

Tutup Forum Parlemen WWF, Puan Tekankan Pentingnya Ketahanan Air

Nasional
Singgung Kenaikan Tukin, Jokowi Minta BPKP Bekerja Lebih Baik

Singgung Kenaikan Tukin, Jokowi Minta BPKP Bekerja Lebih Baik

Nasional
Kembangkan Energi Terbarukan di RI dan Internasional, Pertamina NRE Gandeng Masdar

Kembangkan Energi Terbarukan di RI dan Internasional, Pertamina NRE Gandeng Masdar

Nasional
MK Tolak Gugatan PPP soal Perpindahan 21.000 Suara ke Partai Garuda di 4 Dapil

MK Tolak Gugatan PPP soal Perpindahan 21.000 Suara ke Partai Garuda di 4 Dapil

Nasional
Paparkan Hasil Forum Parlemen WWF, Puan Sebut Isu Air Akan Jadi Agenda Prioritas

Paparkan Hasil Forum Parlemen WWF, Puan Sebut Isu Air Akan Jadi Agenda Prioritas

Nasional
MK Tolak Gugatan PPP Terkait Hasil Pileg Dapil Jabar

MK Tolak Gugatan PPP Terkait Hasil Pileg Dapil Jabar

Nasional
Sidang Asusila Ketua KPU, Anggota Komnas HAM dan Perempuan Jadi Ahli

Sidang Asusila Ketua KPU, Anggota Komnas HAM dan Perempuan Jadi Ahli

Nasional
Belanja Negara Makin Besar, Jokowi Minta BPKP Inovasi Gunakan Teknologi Digital

Belanja Negara Makin Besar, Jokowi Minta BPKP Inovasi Gunakan Teknologi Digital

Nasional
Pegawai Protokol Kementan hingga Pihak Swasta Jadi Saksi Sidang Kasus Korupsi SYL

Pegawai Protokol Kementan hingga Pihak Swasta Jadi Saksi Sidang Kasus Korupsi SYL

Nasional
Ketua KPK Ogah Tanggapi Masalah Ghufron Laporkan Dewas ke Bareskrim

Ketua KPK Ogah Tanggapi Masalah Ghufron Laporkan Dewas ke Bareskrim

Nasional
KPU Sebut Upaya PPP Tembus Parlemen Kandas Sebab Gugatan Banyak Ditolak MK

KPU Sebut Upaya PPP Tembus Parlemen Kandas Sebab Gugatan Banyak Ditolak MK

Nasional
Dugaan Rayu PPLN, Ketua KPU Hadiri Sidang DKPP Bareng Korban

Dugaan Rayu PPLN, Ketua KPU Hadiri Sidang DKPP Bareng Korban

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com