Beberapa pihak kini menyambut pidato Presiden dengan membuat sebuah rating. Kita belum tahu apakah ini akan terus- menerus, misalnya untuk enam bulan. Atau hanya sebagai sebuah stil foto untuk melakukan semacam audit. Yang jauh lebih substansial sebetulnya adalah mendirikan Konsil Rating Media.
Di Amerika hal tersebut didirikan atas perintah Kongres sejak 1960-an. Tujuannya konkret. Satu, memastikan rating itu valid, reliabel, dan efektif. Dua, memastikan kriteria etika dan transparansi minimal kepada publik. Tiga, dapat melakukan audit terhadap proses rating. Empat, juga memberikan akreditasi.
Jadi, gebrakan membuat rating di luar penyedia jasa yang ada tentu bermanfaat. Namun, bagaimana kalau hasil dari dua (atau bahkan tiga) rating berbeda? Di situlah justru kehadiran Konsil Rating Media lebih substansial! Boleh saja punya satu rating asal memang valid dan reliabel setelah diaudit pihak kompeten dan punya otoritas. Sebaliknya, akan baik pula kalau Konsil Rating Media mengumumkan tidak ada hasil rating yang sementara ini valid dan reliabel daripada insan media serta khalayak disesatkan oleh pedoman yang keliru!
”Rating” itu dewa
Persoalan kedua dengan rating menyangkut bagaimana menggunakannya. Katakanlah telah ada satu rating teraudit. Tentu dia memetakan inilah selera pasar. Pertanyaannya: apakah seluruh selera pasar harus dipenuhi. Sebagian menjawab ya, utamanya untuk menghibur karena rakyat sudah lelah dengan beban hidup. Lebih banyak lagi ahli ilmu komunikasi menjawab tidak! Siapa pun yang lulus dari departemen atau fakultas ilmu komunikasi tidak layak mendewakan rating. Inilah yang kadang disebut sebagai lulusan tukang. Mereka seperti tidak pernah terpapar kuliah filosofi komunikasi.
Tegasnya: ketika rating menunjukkan selera pasar sedang berjalan ke arah berlawanan dengan nilai-nilai keutamaan bangsa, Jokowi (senada dengan ribuan ilmuwan komunikasi dari aneka masa) menyatakan harus ada upaya memperbaiki selera pasar tersebut! Karena itu, dalam Konsil Rating Media harus masuk juga organisasi pemasang dan pembuat iklan karena merekalah yang punya uang. Mereka yang sesungguhnya menentukan mau bergeming dengan selera pasar atau memperbaikinya.
Keadaan di tanah air kita sekarang terbalik. Direktur program TV yang bisa menebak dan menjaga selera pasar telah dipuja-puja bagai dewa. Bahkan pemilik stasiun umumnya takut kalau mereka ngambek atau pindah. Produser acara sibuk belajar tren apa yang sedang harus diikuti agar kebagian rating. Mulai dari merumuskan judul, memilih pengisi acara yang ”ramah rating”, sampai apakah hari ini harus berkonflik sensasional atau memelas di layar televisi.