Manakala ada komplain dari istri pertama, pemerintah berhak memberi sanksi kepada PNS yang berpoligami itu. Kebijakan di atas, yang mendorong bentuk keluarga monogamis, berdampak luas di masyarakat karena pejabat negara dan PNS adalah elite dan panutan masyarakat. Pada 1990, kebijakan itu diperkuat Pasal 4 Ayat (2) PP No 45/1990: PNS wanita dilarang menjadi istri poligami.
Setelah reformasi, semua presiden beristri satu dan ada satu presiden wanita (suaminya tak punya istri lain). Era reformasi menambah fondasi politik kukuhnya konsep keluarga monogamis yang harmonis berupa lahirnya UU No 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, menggantikan UU No 10/1992. Pasal 1 Ayat (10) menyebut, "Keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa". Tak diragukan, monogami adalah bentuk keluarga yang diyakini negara paling sesuai dengan era Indonesia modern.
Di tengah kemajuan wanita Indonesia dalam dunia politik—yang pada Pemilu Legislatif 2014 menghasilkan keterwakilan perempuan 97 kursi (17,32 persen) di DPR, 35 kursi (26,51 persen) di DPD, dan rata-rata 16,14 persen di DPRD provinsi serta 14 persen di DPRD kabupaten/kota—muncul fenomena yang tak sejalan dengan kesetaraan jender dan norma keluarga modern berupa berkembangnya praktik poligami. Praktik poligami juga dilakukan elite politik, pemimpin partai politik, gubernur, bupati, wali kota, anggota DPR, dan anggota DPRD. Uniknya, ada kepala daerah yang status poligaminya terungkap setelah seorang wanita yang tadinya tak diketahui publik sebagai istri muda gubernur ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi. Masyarakat yang dipimpinnya terenyak dan merasa tertipu karena selama ini diketahui ia beristri satu.
Di banyak negara maju, tokoh publik dituntut jujur kepada publik. Ada pula kepala daerah melakukan perkawinan siri dengan wanita berusia 18 tahun yang setelah dikecam berbagai kalangan, Kementerian Dalam Negeri meminta kepala daerah yang melakukan nikah siri itu mundur dari jabatannya. Ada pula wali kota berusia 56 tahun menikahi gadis berusia 19 tahun yang baru lulus SMA. Bagi siswi SMA itu, perkawinan pada Juni 2011 itu merupakan perkawinannya pertama, tetapi bagi sang wali kota perkawinan keempat.
Per Desember 2012, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat, 1 persen dari semua kepala daerah di Indonesia berpoligami. Meski jumlahnya sedikit, BKKBN meyakini, hal itu meresahkan masyarakat dan tak mendidik, ditambah kekhawatiran ada yang belum ketahuan. Dalam pandangan BKKBN, poligami akan berpengaruh terhadap ketahanan keluarga, ketahanan keluarga rapuh berpengaruh pada ketahanan masyarakat, lalu akan merapuhkan ketahanan nasional.