Fenomena poligami juga merambah PNS. Pada 2011, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyebutkan, ada 370 PNS yang berpoligami dan 200 PNS sudah mendapat sanksi: diturunkan pangkat, diberhentikan sementara, diberhentikan dengan hormat dan tidak hormat. Pada 2013, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memecat 30 PNS di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya, sebagian besar karena beristri lebih dari satu alias poligami tanpa izin.
Suara Sinta Wahid
Kegeraman pada poligami juga disuarakan gerakan publik, dengan motor mantan Ibu Negara Sinta Wahid, yang mengajak konsumen tak makan di Restoran Wong Solo milik Puspo Wardoyo yang beristri empat, ayah 15 anak, dan sponsor acara Poligamy Award. Ada pula organisasi politik yang elitenya terang-terangan berpoligami dengan banyak anak. Tentu secara sosiologis dapat dipertanyakan: bukankah hal itu asosial di tengah upaya negara mengendalikan pertambahan penduduk sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat?
Di Mesir, sejak akhir 1950-an, Presiden Gamal Abdel Nasser—dilanjutkan Presiden Anwar Sadat dan Presiden Hosni Mubarak—menekan Ikhwanul Muslimin yang didirikan pada 1928, yang berseberangan dengan kebijakan pemerintahannya. Ketika itu, organisasi Ikhwanul Muslimin masih sangat kecil. Pemimpin dan anggota organisasi ini ditengarai beristri banyak dan beranak banyak. Sesudah tumbangnya Presiden Mubarak, pada 2011, Ikhwanul Muslimin mendirikan Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) yang memenangi pemilu parlemen 2012. Presiden Mursi dari FJP terpilih pada 2013 dan pada tahun sama digulingkan militer Mesir.
Banyak penulis menyatakan, Ikhwanul Muslimin menambah jumlah pengikutnya dengan metode pengikutnya beristri banyak dan beranak banyak. Jika itu benar, beristri banyak dan beranak banyak bisa menjadi motif politik berjangka panjang.
Fenomena poligami tidak hanya terjadi pada pemeluk Islam seperti dipahami banyak orang karena poligami adalah ciri umum masyarakat tradisional dan feodal. Di India, laporan dari National Family Health Survey 2006 menyebutkan, 2 persen wanita India melaporkan bahwa suaminya punya lebih dari satu istri. Survei lebih awal di India (1974) mengungkapkan, poligami dilakukan 5,7 persen komunitas Muslim, 5,8 persen komunitas Hindu, dan 15,25 persen komunitas suku terpencil.
Sepatutnya berbagai organisasi dan gerakan wanita tak diam dengan fenomena berkembang ini. Kemajuan pesat negara kita ke depan membutuhkan organisasi keluarga yang sesuai dengan tuntutan masyarakat modern yang produktif: keluarga monogamis. Di semua negara yang maju berkat sumber daya manusia yang tangguh, bentuk organisasi keluarganya adalah monogami. Begitulah sekarang RRT, Jepang, dan Korea yang elitenya dulu juga banyak mempraktikkan poligami.