Independensi kekuasaan kehakiman
Implikasi perubahan itu amat mendasar dan luas. Hukum menjadi rujukan untuk semua hal dan dengan demikian proses yudisialisasi terjadi di semua lini, termasuk politik dan ekonomi.
Dengan proses yudisialisasi itu dan independensi kekuasaan kehakiman yang memang diperlukan agar kekuasaan kehakiman dapat melakukan tugas dan kewenangannya untuk menegakkan hukum secara benar dan imparsial, kekuasaan kehakiman yang merdeka itu menjadi sebuah kekuasaan yang besar dan menentukan.
Namun, hukum tidak dapat mengartikan dan menerapkan dirinya sendiri. Dalam penerapannya, hukum tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan manusia, dalam hal ini hakim. Dengan keterlibatan hakim, yang juga manusia, kemungkinan hukum terpengaruh secara negatif dan menjadi alat kepentingan individu hakim (rule of judges atau rule of man), sesuatu yang justru ingin dihindari dengan rule of law, dapat terjadi. Dan kepentingan itu tidak terbatas dalam bentuk uang, tetapi bisa juga dalam bentuk kepentingan sosial-politik dan sebagainya.
Oleh karena itu, dan sejalan dengan paham demokrasi, kekuasaan kehakiman yang masuk jauh ke dalam setiap ranah kehidupan (yudisialisasi) itu memerlukan akuntabilitas. Kekuasaan kehakiman jangan sampai menjadi kekuasaan tertutup dan tidak tersentuh. Pengawasan internal saja tidak cukup untuk membangun akuntabilitas yang diperlukan. Kekuasaan kehakiman yang amat besar dan luas harus bisa dipertanggungjawabkan dan karena itu harus transparan.
Demikianlah, maka independensi dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman sama-sama diperlukan, tidak bertentangan satu dengan yang lain, adalah dua muka dari satu koin yang sama. Tujuh belas abad yang lalu, Aristoteles telah mengingatkan bahwa karakter dan orientasi hakim adalah unsur esensial dalam penegakan hukum.
Selama proses amandemen, Panitia Ad Hoc I (PAH I) Badan Pekerja MPR mendiskusikan topik ini secara mendalam. PAH I berpendapat perlu ada mekanisme dan atau lembaga yang berwenang menjaga akuntabilitas hakim tanpa mengganggu independensi kekuasaan kehakiman. MPR pada waktu itu berpendapat, independensi dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman itu bergandengan dan tidak bertentangan.
Akuntabilitas kekuasaan kehakiman
Gagasan itu selanjutnya berkembang dalam dua bentuk. Pertama, membentuk lembaga KY di setiap provinsi dan pada tingkat nasional, dengan beranggotakan pakar hukum dari perguruan tinggi, tokoh praktisi hukum, dan tokoh masyarakat. KY diberi kewenangan yang luas. Pada tingkat daerah untuk melakukan rekrutmen hakim dan promosi hakim dan pada tingkat nasional untuk mencalonkan hakim agung.